Sabtu, 11 Januari 2014

SEPUTAR ANEMIA GIZI BESI (AGB)

SEPUTAR ANEMIA GIZI BESI (AGB)
Menurut definisi, anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemikiran fisik yang teliti, serta asi didukung oleh pemeriksaan laboratorium.
Manifestasi klinik
            Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat menimbulkan manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini bergantung pada:
(1) kecepatan timbulnya anemia
(2) umur individu
(3) mekanisme kompensasinya
(4) tingkat aktivitasnya
(5) keadaan penyakit yang mendasari, dan
(6) parahnya anemia tersebut.
                Karena jumlah efektif sel darah merah berkurang, maka  lebih sedikit O2 yang dikirimkan ke jaringan. Kehilangan darah yang mendadak (30% atau lebih), seperti pada perdarahan, menimbulkan simtomatoogi sekunder hipovolemia dan hipoksemia. Namun pengurangan hebat massa sel darah merah dalam waktu beberapa bulan (walaupun pengurangannya 50%) memungkinkan mekanisme kompensasi tubuh untuk menyesuaikan diri, dan biasanya penderita asimtomatik, kecuali pada kerja jasmani berat.
Mekanisme kompensasi bekerja melalui:
(1) peningkatan curah jantung dan pernafasan, karena itu menambah pengiriman O2
      ke jaringan-jaringan oleh sel darah merah
(2) meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin
(3) mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan,  dan
(4) redistribusi aliran darah ke organ-organ vital (deGruchy, 1978 ).
Etiologi
  1. Karena cacat sel darah merah (SDM)
         Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-tiap komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan masalah bagi SDM sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan dengan cepat mengalami penuaan dan segera dihancurkan. Pada umumnya cacat yang dialami SDM menyangkut senyawa-senyawa protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan ini menyangkut protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di DNA.
1. Karena kekurangan zat gizi
 Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor                                                                                                                   
   luar tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena kelainan dalam SDM   disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel tersebut. Anemia jenis ini tidak dapat diobati, yang dapat dilakukan adalah hanya memperpanjang usia SDM sehingga mendekati umur yang seharusnya, mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya mengurangi penyulit yang terjadi.
2. Karena perdarahan
       Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar  dan dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi karena kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin mengembalikan jumlah darah ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi.
3. Karena otoimun
 Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan menghancurkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini sebanarnya tidak seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi terhadap SDM, umur SDM akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh sistem imun.

Diagnosis (gejala atau tanda-tanda)
Tanda-tanda yang paling sering  dikaitkan dengan anemia adalah:
  1.  kelelahan, lemah, pucat, dan kurang bergairah
  2. sakit kepala, dan mudah marah
  3. tidak mampu berkonsentrasi, dan rentan terhadap infeksi
  4. pada anemia yang kronis menunjukkan bentuk kuku seperti sendok dan rapuh, pecah-pecah pada sudut mulut, lidah lunak dan sulit menelan.
Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman serta distribusi kapiler mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan merupakan indeks pucat yang dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan, dan membran mukosa mulut serta konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai kepucatan.
Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan aliran darah yang meningkat) menggambarkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat. Angina (sakit dada), khususnya pada penderita yang tua dengan stenosis koroner, dapat diakibatkan karena iskemia miokardium. Pada anemia berat, dapat menimbulkan payah jantung kongesif sebab otot jantung yang kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban kerja jantung yang meningkat. Dispnea (kesulitan bernafas), nafas pendek, dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi berkurangnya pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinnitus (telinga berdengung) dapat menggambarkan berkurangnya oksigenasi pada susunan saraf pusat. Pada anemia yang berat dapat juga timbul gejala saluran cerna yang umumnya berhubungan dengan keadaan defisiensi. Gejala-gejala ini adalah anoreksia, nausea, konstipasi atau diare dan stomatitis (sariawan lidah dan mulut).
      
Klasifikasi anemia
Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro menunjukkan ukuran sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan warnanya. Sudah dikenal tiga klasifikasi besar.
Yang pertama adalah anemia normositik normokrom. Dimana ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronik termasuk infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
Kategori besar yang kedua adalah anemia makrositik normokrom. Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokrom karena konsentrasi hemoglobinnya normal. Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 dan atau asam folat. Ini dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker, sebab agen-agen yang digunakan mengganggu metabolisme sel.
Kategori anemia ke tiga adalah anemia mikrositik hipokrom. Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal. Hal ini umumnya menggambarkan insufisiensi sintesis hem (besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan
darah kronik, atau gangguan sintesis globin, seperti pada talasemia (penyakit hemoglobin abnormal kongenital).
Anemia dapat juga diklasifikasikan  menurut etiologinya. Penyebab utama yang dipikirkan adalah
 (1) meningkatnya kehilangan sel darah merah dan
 (2) penurunan atau gangguan pembentukan sel.
 Meningkatnya kehilangan sel darah merah dapat disebabkan oleh perdarahan atau oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat disebabkan oleh trauma atau tukak, atau akibat pardarahan kronik karena polip pada kolon, penyakit-penyakit keganasan, hemoriod atau menstruasi. Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi, dikenal dengan nama hemolisis, terjadi bila gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang memperpendek
hidupnya atau karena perubahan lingkungan yang mengakibatkan penghancuran sel darah merah. Keadaan dimana sel darah merah itu sendiri terganggu adalah:
1. hemoglobinopati, yaitu hemoglobin abnormal yang diturunkan, misal nya anemia sel sabit                       
2. gangguan sintetis globin misalnya talasemia
3. gangguan membran sel darah merah misalnya sferositosis herediter
4.defisiensi enzim misalnya defisiensi G6PD (glukosa 6-fosfat dehidrogenase).
Yang disebut diatas adalah gangguan herediter. Namun, hemolisis dapat juga disebabkan oleh gangguan lingkungan sel darah merah yang seringkali memerlukan respon imun. Respon isoimun mengenai berbagai individu dalam spesies yang sama dan diakibatkan oleh tranfusi darah yang tidak cocok. Respon otoimun terdiri dari pembentukan antibodi terhadap sel-sel darah merah itu sendiri. Keadaan yang di namakan anemia hemolitik otoimun dapat timbul tanpa sebab yang diketahui setelah pemberian suatu obat tertentu seperti alfa-metildopa, kinin, sulfonamida, L-dopa atau pada penyakit-penyakit seperti limfoma, leukemia limfositik kronik, lupus eritematosus, artritis reumatorid dan infeksi  virus. Anemia hemolitik otoimun selanjutnya diklasifikasikan menurut suhu dimana antibodi bereaksi dengan sel-sel darah merah –antibodi tipe panas atau antibodi tipe dingin.
Malaria adalah penyakit parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang terinfeksi. Penyakit ini akan menimbulkan anemia hemolitik berat ketika sel darah merah diinfestasi oleh parasit plasmodium, pada keadaan ini terjadi kerusakan pada sel darah merah, dimana permukaan sel darah merah tidak teratur. Sel darah merah yang terkena akan segera dikeluarkan dari peredaran darah oleh limpa(Beutler, 1983)
Hipersplenisme (pembesaran limpa, pansitopenia, dan sumsum tulang hiperselular atau normal) dapat juga menyebabkan hemolisis akibat penjeratan dan penghancuran sel darah merah. Luka bakar yang berat khususnya jika kapiler pecah dapat juga mengakibatkan hemolisis.
Klasifikasi etiologi utama yang kedua adalah pembentukan sel darah merah yang berkurang atau terganggu (diseritropoiesis). Setiap keadaan yang mempengaruhi fungsi sumsum tulang dimasukkan dalam kategori ini. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
(1) keganasan yang tersebar seperti kanker payudara, leukimia dan multipel mieloma; obat dan zat kimia toksik; dan penyinaran dengan radiasi dan
(2) penyakit-penyakit menahun yang melibatkan ginjal dan hati, penyakit-penyakit infeksi dan defiensi endokrin.
Kekurangan vitamin penting seperti vitamin B12, asam folat, vitamin C dan besi dapat mengakibatkan pembentukan sel darah merah tidak efektif sehingga menimbulkan anemia. Untuk menegakkan diagnosis anemia harus digabungkan pertimbangan morfologis dan etiologi.
Anemia aplastik
Anemia aplastik adalah suatu gangguan pada sel-sel induk disumsum tulang yang dapat menimbulkan kematian, pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang dihasilkan tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia yaitu kekurangan  sel darah merah, sel darah putih dan trombosit. Secara morfologis sel-sel darah merah terlihat normositik dan normokrom, hitung retikulosit rendah atau hilang dan biopsi sumsum tulang menunjukkan suatu keadaan yang disebut “pungsi kering” dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi pergantian dengan jaringan lemak. Langkah-langkah pengobatan terdiri dari mengidentifikasi dan menghilangkan agen penyebab. Namun pada beberapa keadaan tidak dapat ditemukan agen penyebabnya dan keadaan ini disebut idiopatik. Beberapa keadaan seperti ini diduga merupakan keadaan imunologis.

Gejala-gejala anemia aplastik
Kompleks gejala anemia aplastik berkaitan dengan pansitopenia. Gejala-gejala lain yang berkaitan dengan anemia adalah defisiensi trombosit dan sel darah putih.
Defisiensi trombosit dapat mengakibatkan:
(1)ekimosis dan ptekie (perdarahan dalam kulit)
(2)epistaksis (perdarahan hidung)
(3)perdarahan saluran cerna
(4)perdarahan saluran kemih
(5)perdarahan susunan saraf pusat.
Defisiensi sel darah putih mengakibatkan lebih mudahnya terkena infeksi.
Aplasia berat disertai pengurangan atau tidak adanya retikulosit jumlah granulosit yang kurang dari 500/mm3 dan jumlah trombosit yang kurang dari 20.000 dapat
mengakibatkan kematian dan infeksi dan/atau perdarahan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Namun penderita yang lebih ringan dapat hidup bertahun- tahun. Pengobatan terutama dipusatkan pada perawatan suportif sampai terjadi penyembuhan sumsum tulang. Karena infeksi dan perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi sel lain merupakan penyebab utama kematian maka penting untuk mencegah perdarahan dan infeksi.
Pencegahan anemia aplastik dan terapi yang di lakukan
Tindakan pencegahan dapat mencakup lingkungan yang dilindungi (ruangan dengan aliran udara yang mendatar atau tempat yang nyaman) dan higiene yang baik. Pada pendarahan dan/atau infeksi perlu dilakukan terapi komponen darah yang bijaksana, yaitu sel darah merah, granulosit dan trombosit dan antibiotik. Agen-agen perangsang sumsum tulang seperti androgen diduga menimbulkan eritropoiesis, tetapi efisiensinya tidak menentu. Penderita anemia aplastik kronik dipertahankan pada hemoglobin (Hb) antara 8 dan 9 g dengan tranfusi darah yang periodik.
Penderita anemia aplastik berusia muda yang terjadi secara sekunder akibat kerusakan sel induk memberi respon yang baik terhadap tranplantasi sumsum tulang dari donor yang cocok (saudara kandung dengan antigen leukosit manusia [HLA] yang cocok). Pada kasus-kasus yang  dianggap terjadi reaksi imunologis maka digunakan globulin antitimosit (ATG) yang mengandung antibodi untuk melawan sel T manusia untuk mendapatkan remisi sebagian. Terapi semacam ini dianjurkan untuk penderita yang agak tua atau untuk penderita yang tidak mempunyai saudara kandung yang cocok.
Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi secara morfologis diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintetis hemoglobin.
Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di dunia. Khususnya terjadi pada wanita usia subur, sekunder karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi selama hamil.
 Penyebab lain defisiensi besi adalah:
(1)asupan besi yang tidak cukup misalnya pada bayi yang diberi makan susu belaka  sampai usia antara 12-24 bulan dan pada individu tertentu yang hanya memakan sayur- sayuran saja;
(2)gangguan absorpsi seperti setelah gastrektomi dan
(3)kehilangan darah yang menetap seperti pada perdarahan saluran cerna yang lambat karena polip, neoplasma, gastritis varises esophagus, makan aspirin dan hemoroid.
Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa rata-rata mengandung 3 sampai 5 g besi,
bergantung pada jenis kelamin dan besar tubuhnya. Hampir dua pertiga besi terdapat dalam hemoglobin yang dilepas pada proses penuaan serta kematian sel dan diangkut melalui transferin plasma ke sumsum tulang untuk eritropoiesis. Dengan kekecualian dalam jumlah yang kecil dalam mioglobin (otot) dan dalam enzim-enzim hem, sepertiga
sisanya disimpan dalam hati, limpa dan dalam sumsum tulang sebagai feritin dan sebagai hemosiderin untuk kebutuhan-kebutuhan lebih lanjut.
Patofisiologi anemia defisiensi besi
Walaupun dalam diet rata-rata terdapat 10 - 20 mg besi, hanya sampai 5% - 10% (1 - 2 mg) yang sebenarnya sampai diabsorpsi. Pada persediaan besi berkurang maka besi dari diet tersebut diserap lebih banyak. Besi yang dimakan diubah menjadi besi fero dalam lambung dan duodenum; penyerapan besi terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal. Kemudian besi diangkut oleh transferin plasma ke sumsum tulang untuk sintesis hemoglobin atau ke tempat penyimpanan di jaringan.
Tanda dan gejala anemia pada penderita defisiensi besi
Setiap milliliter darah mengandung 0,5 mg besi. Kehilangan besi umumnya sedikit sekali, dari 0,5 sampai 1 mg/hari. Namun wanita yang mengalami menstruasi kehilangan tambahan 15 sampai 28 mg/bulan. Walaupun kehilangan darah karena menstruasi berhenti selama hamil, kebutuhan besi harian tetap meningkat, hal ini terjadi oleh karena volume darah ibu selama hamil meningkat, pembentukan plasenta, tali pusat dan fetus, serta mengimbangi darah yang hilang pada waktu melahirkan.
Selain tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh anemia, penderita defisiensi besi yang berat (besi plasma lebih kecil dari 40 mg/ 100 ml;Hb 6 sampai 7 g/100 ml)mempunyai rambut yang rapuh dan halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan sebenarnya berbentuk seperti sendok (koilonikia). Selain itu atropi papilla lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin, mengkilat, merah daging, dan meradang dan sakit. Dapat juga timbul stomatitis angularis, pecah-pecah dengan kemerahan dan rasa sakit di sudut-sudut mulut.
Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah merah normal atau hampir normal dan kadar hemoglobin berkurang. Pada sediaan hapus darah perifer, eritrosit mikrositik dan hipokrom disertain poikilositosis dan aniositosis. Jumlah retikulosit mungkin normal atau berkurang. Kadar besi berkurang walaupun kapasitas meningkat besi serum meningkat.
Pengobatan anemia pada penderita defisiensi besi
Pengobatan defisiensi besi mengharuskan identifikasi dan menemukan penyebab dasar anemia. Pembedahan mungkin diperlukan untuk menghambat perdarahan aktif
yang diakibatkan oleh polip, tukak, keganasan dan hemoroid; perubahan diet mungkin diperlukan untuk bayi yang hanya diberi makan susu atau individu dengan idiosinkrasi makanan atau yang menggunakan aspirin dalam dosis besar. Walaupun modifikasi diet dapat menambah besi yang tersedia (misalnya hati, masih dibutuhkan suplemen besi untuk meningkatkan hemoglobin dan mengembalikan persediaan besi. Besi tersedia dalam bentuk parenteral dan oral. Sebagian penderita memberi respon yang baik terhadap senyawa-senyawa oral seperti ferosulfat. Preparat besi parenteral digunakan secara sangat selektif, sebab harganya mahal dan mempunyai insidens besar terjadi reaksi yang merugikan.
Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik diklasifikasikan menurut morfologinya sebagai anemia makrositik normokrom.
Sebab-sebab atau gejala anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik sering disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan asam folat yang mengakibatkan sintesis DNA terganggu. Defisiensi ini mungkin sekunder karena malnutrisi, malabsorpsi, kekurangan faktor intrinsik  (seperti terlihat pada anemia pernisiosa dan postgastrekomi) infestasi parasit, penyakit usus dan keganasan, serta agen kemoterapeutik. Individu dengan infeksi cacing pita (dengan Diphyllobothrium latum) akibat makan ikan segar yang terinfeksi, cacing pita berkompetisi dengan hospes dalam mendapatkan vitamin B12 dari makanan, yang mengakibatkan anemia megaloblastik (Beck, 1983).
Walaupun anemia pernisiosa merupakan prototip dari anemia megaloblastik defisiensi folat lebih sering ditemukan dalam praktek klinik. Anemia megaloblastik sering kali terlihat pada orang tua dengan malnutrisi, pecandu alkoholatau pada remaja dan pada kehamilan dimana terjadi peningkatan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan fetus dan laktasi. Kebutuhan ini juga meningkat pada anemia hemolitik, keganasan dan hipertiroidisme. Penyakit celiac dan sariawan tropik juga menyebabkan malabsorpsi dan penggunaan obat-obat yang bekerja sebagai antagonis asam folat juga mempengaruhi.
Pencegahan anemia pada penderita anemia megaloblastik
Kebutuhan minimal folat setiap hari kira-kira 50 mg mudah diperoleh dari diet rata-rata. Sumber yang paling melimpah adalah daging merah (misalnya hati dan ginjal) dan sayuran berdaun hijau yang segar. Tetapi cara menyiapkan makanan yang benar
juga diperlukan untuk menjamin jumlah gizi yang adekuat. Misalnya 50% sampai 90% folat dapat hilang pada cara memasak yang memakai banyak air. Folat diabsorpsi
dari duodenum dan jejunum bagian atas, terikat pada protein plasma secara lemah dan disimpan  dalam hati. Tanpa adanya asupan folat persediaan folat biasanya akan habis
kira-kira dalam waktu 4 bulan. Selain gejala-gejala anemia yang sudah dijelaskan penderita anemia megaloblastik sekunder karena defisiensi folat dapat tampak seperti malnutrisi dan mengalami glositis berat (radang lidah disertai rasa sakit), diare dan kehilangan nafsu makan. Kadar folat serum juga menurun (<4 mg/ml).
Pengobatan anemia pada penderita anemia megaloblastik.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya pengobatan bergantung pada identifikasi dan menghilangkan penyebab dasarnya. Tindakan ini adalah memperbaiki defisiensi diet dan terapi pengganti dengan asam folat atau dengan vitamin B12. penderita kecanduan alkohol yang dirawat di rumah sakit sering memberi respon “spontan” bila di berikan diet seimbang.

Daftar Pustaka
 1.   Sadikin Muhamad, 2002, Biokimia Darah, widia medika, jakarta
 2.   http://www.majalah-farmacia.com
 3.   http://www.pediatrik.com
 4.   Sylvia A. Price Lorraine M. Wilson, 2002, Patofisiologi, Jilid1, EGC, Jakarta

mekanisme gangguan kesehatan berkembang

Dalam dua dasawarsa terakhir, pemahaman mengenai mekanisme gangguan kesehatan berkembang, terutama yang berhubungan dengan penyakit degeneratif.  Maka pemahaman seputar radikal bebas dan antioksidan pun berkembang lebih luas.
Proses metabolisme tubuh selalu diiringi pembentukan radikal bebas, yakni molekul-molekul yang sangat reaktif.  Molekul-molekul tersebut memasuki sel dan “meloncat-loncat” di dalamnya.  Mencari, lalu “mencuri” satu elektron dari molekul lain untuk dijadikan pasangan. Pembentukan radikal bebas dalam tubuh pada hakikatnya adalah suatu kejadian normal, bahkan terbentuk secara kontinyu karena dibutuhkan untuk proses tertentu, di antaranya oksidasi lipida.
Tanpa produksi radikal bebas, kehidupan tidaklah mungkin terjadi.  Radikal bebas berperan penting pada ketahanan terhadap jasad renik.  Dalam hati dibentuk radikal bebas secara enzimatis dengan maksud memanfaatkan toksisitasnya untuk merombak obat-obatan dan zat-zat asing yang beracun.
Namun pembentukan radikal bebas yang berlebihan malah menjadi bumerang bagi sel tubuh, karena sifatnya yang aktif mencari satu elektron untuk dijadikan pasangan.  Dalam pencariannya, membran sel dijebol dan inti sel dicederai.  Aksi ini dapat mempercepat proses penuaan jaringan, cacat DNA serta pembentukan sel-sel tumor. Radikal bebas juga “dituding” dalam proses pengendapan kolesterol LDL pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis).
Tubuh memerlukan bala bantuan untuk mengendalikan jumlah radikal bebas yang melampaui kebutuhan itu, yaitu antioksidan yang sebenarnya sudah terbentuk secara alamiah oleh tubuh.  Berdasarkan sifatnya, antioksidan mudah dioksidasi (menyerahkan elektron), sehingga radikal bebas tak lagi aktif mencari pasangan elektronnya.
Unsur antioksidan yang terpenting adalah yang berasal dari vitamin C, E dan A serta enzim alamiah. Demi memenuhi tuntunan itu, berbagai upaya dilakukan, misalnya dengan mengonsumsi lebih banyak buah dan sayur yang kaya akan vitamin dan mineral tertentu.  Ada pula yang menempuh cara lebih praktis, yaitu mengonsumsi suplemen, baik yang berbahan dasar alami maupun yang sintetis.
Belum banyak yang memahami benar seberapa banyak kebutuhan tubuh kita akan vitamin A, C dan E yang dikelompokkan sebagai antioksidan.  Sebagai contoh masih terdapat perbedaan pendapat tentang dosis Vitamin C yang perlu dikonsumsi setiap hari.  Sebagian pakar merekomendasikan cukup 60–70 mg, dengan alasan cukup untuk kebutuhan setiap hari.  Jika mengonsumsi berlebih akan terbuang dalam urin. Sedangkan yang lain menganjurkannya 500–1.000 mg agar Vitamin C bukan sekedar memenuhi kebutuhan tubuh untuk stimulasi proses metabolisme, tetapi benar-benar dapat berfungsi sebagai antioksidan.
Beberapa pakar nutrisi berpendapat, bahwa kecukupan antioksidan dapat diperoleh dengan cara  menjaga pola makan bergizi seimbang. Namun, pada kenyatannya tidak banyak yang dapat melakukannya setiap hari.  Sebagai contoh, bagi kalangan berpendapatan kelas menengah-bawah buah-buahan yang dijual pada umumnya relatif mahal, sehingga kebutuhan akan vitamin yang tergolong anti oksidan menjadi berkurang.  Mereka berpendapat dapat digantikan dengan suplemen yang lebih murah. Namun keunggulan suplemen ini tetap kalah jika dibandingkan dengan makanan alami, karena pada yang alami terdapat vito chemicals, yaitu sekumpulan bahan-bahan kimia yang mempunyai fungsi belum diketahui secara rinci.
Ada pula yang berpendapat, dalam mengonsumsi suplemen, mengambil dosis yang moderat, artinya tidak menggunakan vitamin dengan dosis terlalu tinggi, contohnya 500 mg Vitamin C setiap hari.  Penggunaan dosis tinggi dianggap tidak baik bagi kesehatan, apalagi digunakan dalam jangka panjang. “Beberapa studi menunjukkan, dosis terlalu tinggi mengubah sifat antioksidan menjadi prooksidan,” peringatan dr Benny Soegianto, MPH. (alm) dalam sebuah wawancara dengan reporter majalah kesehatan tujuh tahun silam.  Kendatipun demikian sampai saat ini masih banyak konsumen yang tergoda untuk rutin memakai dosis tinggi karena terbuai janji khasiatnya sebagai penghambat proses penuaan.
Tubuh kita sendiri, lanjut dr Benny seringkali mampu memberikan sinyal kekurangan vitamin tertentu.  Sebagai contoh, jika Vitamin B dan C dalam kurun waktu tertentu tidak cukup dikonsumsi dan tubuh sedang bekerja keras, maka akan timbul sariawan dan tubuh akan terasa pegal.  Oleh karenanya kecukupan kedua macam vitamin tersebut perlu dijaga dengan cara–suka tidak suka- mengonsumsi buah segar setiap hari dalam porsi yang memadai.

BAKTERIURIA ASIMTOMATIK PADA ANAK SEKOLAH DASAR USIA 9-12 TAHUN

BAKTERIURIA ASIMTOMATIK PADA ANAK SEKOLAH DASAR
USIA 9-12 TAHUN
SONDANG M. LUMBANBATU
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna.1,2 Infeksi saluran kemih ini adalah suatu infeksi bakteri yang umum dijumpai pada anak dan merupakan penyebab kedua angka kesakitan pada anak setelah infeksi saluran napas.3,4 Pada anak ISK sering tidak terdeteksi karena gejala klinisnya tidak khas. Sebuah penelitian di Portsmouth dan South East Hampshire, Inggris mendapatkan angka kejadian ISK 20 kali lebih banyak dari yang diyakini sebelumnya.5 Secara klinis ISK dapat dibagi atas simtomatik dan asimtomatik.6-8 Disebut simtomatik bila dijumpai bakteriuria bermakna disertai gejala klinis seperti sakit buang air kecil (BAK), sering BAK dan rasa ingin miksi terus menerus dengan atau tanpa demam dan nyeri pinggang. Disebut ISK asimtomatik adalah apabila dijumpai bakteriuria bermakna pada anak maupun dewasa yang kelihatannya sehat tanpa gejala yang mengarah ke infeksi saluran kemih.9,10 Hal tersebut khususnya terjadi pada anak perempuan usia sekolah.10,11
Sejak ditemukan adanya bakteriuria asimtomatik yang mempunyai gejala yang mengarah ke arah infeksi saluran kemih bagian bawah, bakteriuria asimtomatik kemudian dianggap sebagai pembagian penting dari ISK.1,12 Walaupun sebagian besar anak mempunyai prognosis yang baik, pada sebagian kecil dapat terjadi komplikasi, khususnya bila disertai kelainan obstruktif dan refluks vesikoureter (RVU).13,14 ISK asimtomatik ini umumnya jarang berlanjut menjadi pielonefritis dan respon terhadap pengobatan, tetapi beberapa di antaranya dapat menyebabkan parut ginjal sehingga perlu dipertimbangkan untuk melakukan penapisan bakteriuria pada anak sehat.15 Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dan adekuat merupakan hal yang penting untuk mencegah infeksi menjadi kronik dan berlanjut menjadi pielonefritis kronik dengan kerusakan ginjal yang progresif menuju ke arah gagal ginjal kronik. 15-17 Walaupun uji tapis bakteriuria asimtomatik telah sering dilakukan, penelitian yang sama yang pernah dilakukan di Indonesia masih sangat sedikit.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: apakah terdapat perbedaan bakteriuria asimtomatik pada anak laki-laki dan perempuan usia 9-12 tahun, berapakah prevalensnya, serta apa jenis kuman terbanyak sebagai penyebab bakteriuria tersebut.
©2003 Digitized by USU digital library 1
1.3. Kerangka Konsep
Anak sehat
- Umur
- Riwayat ISK
- Higiene dan Sanitasi
- Kebiasaan-kebiasaan
Alur survei
- Jenis kelamin
Variabel terikat
Variabel bebas
I S K
Kultur
(Mikroorganisme)
Gambar 1 : Kerangka konsep bakteriuria asimtomatik pada anak sekolah dasar
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.4.1. Menentukan perbedaan bakteriuria asimtomatik pada anak laki-laki dan perempuan usia 9-12 tahun.
1.4.2. Menentukan prevalens bakteriuria asimtomatik pada anak laki-laki dan perempuan usia 9-12 tahun.
1.4.3. Untuk melihat jenis bakteri penyebab bakteriuria asimtomatik pada anak laki-laki dan perempuan usia 9-12 tahun.
1.5. Hipotesis
Hipotesis nol penelitian ini adalah tidak ada perbedaan bakteriuria asimtomatik pada anak laki-laki dan perempuan usia 9-12 tahun.
1.6. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan:
1.6.1. Meningkatkan kewaspadaan terhadap ISK yang asimtomatik.
1.6.2. Mendeteksi ISK secara dini untuk mencegah parut ginjal dan refluks nefropati yang menyebabkan gagal ginjal sebagai komplikasi akhir ISK.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi merupakan penyakit yang paling umum dijumpai dalam saluran kemih, tetapi sulit memperoleh data berapa jumlah penderita pada usia tertentu. Hal ini karena beberapa faktor antara lain:18
- Bakteriuria bermakna dapat timbul tanpa gejala klinis dan menghilang tanpa diberi terapi.
- Sulit memperoleh spesimen urin beberapa kali dalam setahun dan beberapa tahun kemudian dari populasi yang sama.
©2003 Digitized by USU digital library 2
- Pemberian antibiotika kepada anak dengan demam yang bertujuan untuk mengeradikasi kuman penyebab infeksi tersembunyi.
Infeksi saluran kemih terjadi apabila bakteri bermultiplikasi di dalam saluran kemih. Infeksi dapat berlangsung mulai dari ginjal sampai ke muara uretra,2,3 dapat bersifat akut, berulang, maupun kronik.3 Pada anak infeksi juga dijumpai sekalipun jumlah koloni lebih rendah dari jumlah koloni pada orang dewasa. Jumlah koloni yang kecil ini dapat diartikan sebagai infeksi atau merupakan kontaminasi organisme yang masuk ke dalam urin setelah keluar dari kandung kemih dan tidak bisa dibedakan kecuali dilakukan aspirasi suprapubik atau sampel diambil dengan kateter.19
Selama periode tahun 1960–1980 penapisan bakteriuria asimtomatik banyak dipublikasikan.5,9,11 Selama periode ini deteksi dini dan terapi bakteriuria asimtomatik dapat mencegah pielonefritis, parut ginjal dan gagal ginjal terminal.12 Sepuluh tahun kemudian kebenarannya diragukan dan tidak ada bukti deteksi dan terapi bakteriuria asimtomatik dapat mencegah pielonefritis dan parut ginjal.1,12 Kebanyakan peneliti berpendapat uji tapis bakteriuria asimtomatik tidak dianjurkan secara rutin pada anak sehat.8,17
2.1. Epidemiologi
Prevalens ISK yang simtomatik dan asimtomatik pada anak bervariasi menurut jenis kelamin, usia, status sosioekonomi dan ras.19,20 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteriuria yang tidak mempunyai gejala klinis saluran kemih dapat terjadi selama masa kanak-kanak yang dikenal sebagai bakteriuria asimtomatik.1,17 Walaupun pertama sekali dilaporkan pada anak perempuan, bakteriuria asimtomatik dapat terjadi pada semua kelompok usia.1 Bakteriuria asimtomatik secara eksklusif mengenai anak perempuan usia 6-18 tahun dan insiden yang pernah dilaporkan dari beberapa penelitian uji tapis 1-2 %,2 0,7–2,8 %,3 sedang pada anak laki-laki jarang dijumpai.1 Penelitian uji tapis bakteriuria asimtomatik di Newcastle menunjukkan prevalens pada anak sekolah usia 4-18 tahun 1,9 %. Pada anak perempuan usia 4-6 tahun 1,4 %, usia 7-11 tahun 2,5 % dan usia 12-18 tahun 1,6 %. Prevalens bakteriuria asimtomatik pada anak laki-laki usia dibawah 18 tahun 0,2 %. Parut ginjal ditemukan pada 15 % dengan bakteriuria asimtomatik.9 Peneliti lain mendapatkan prevalens bakteriuria asimtomatik pada anak perempuan 1,1 %,1 5 %,4 1–7 %,17 dan pada anak laki-laki 0,03 %.17 Pada anak usia sekolah perbandingan infeksi asimtomatik antara anak perempuan dan anak laki – laki adalah 25: 1.13
2.2. Faktor-faktor Risiko
Proses berkemih merupakan proses pembersihan bakteri dari kandung kemih, sehingga anak yang suka menahan kencing atau berkemih yang tidak sempurna akan meningkatkan risiko untuk terjadinya infeksi.18
Keadaan yang menyebabkan tertahannya urin seperti refluks vesikoureter (RVU) dan kelainan anatomi serta gangguan berkemih menjadi predisposisi timbulnya infeksi.17 Risiko untuk terjadi ISK yang paling umum adalah RVU berkisar antara 20–42 %. 1,17,18 Urin yang refluks meningkatkan risiko ISK berulang dan parut ginjal.17,21 Faktor risiko lain adalah adanya riwayat infeksi sebelumnya, orangtua atau saudara anak tersebut mengalami refluks. Anak ras kulit putih mempunyai risiko untuk ISK 2 kali lebih banyak dibanding anak kulit berwarna.17
Faktor predisposisi lain adalah kelainan anatomi seperti obstruksi hubungan ureterovesikal, megaureter bawaan, ureter ektopik, ureterokel dan lain-lain. Stasis urin yang disebabkan oleh faktor penekanan dari luar seperti neoplasma, peradangan saluran cerna, konstipasi atau sindroma-sindroma saluran keluar
©2003 Digitized by USU digital library 3
kandung kemih (bladder outlet syndroms) dapat meningkatkan risiko terjadinya ISK.17,19
Beberapa penelitian menghubungkan risiko timbulnya ISK pada anak yang tidak disirkumsisi.2,22 Kulup preputium merupakan tempat penyimpanan organisme uropatogen. Anak laki-laki dengan RVU yang tidak disirkumsisi sepertiganya dijumpai pertumbuhan uropatogen walaupun sudah diberi antibitiotik profilaksis.22 Bagaimanapun bakteriuria asimtomatik kemungkinan berhubungan dengan abnormalitas saluran kemih dan pada beberapa anak kemudian berkembang menjadi infeksi yang simtomatik.
2.3. Mikrobiologi
Umumnya ISK disebabkan oleh kuman gram negatif. Escherichia coli merupakan penyebab terbanyak baik pada yang simtomatik maupun yang asimtomatik yaitu 70 - 90%. 2,15,23 Enterobakteria seperti Proteus mirabilis19 (30 % dari infeksi saluran kemih pada anak laki-laki tetapi kurang dari 5 % pada anak perempuan ), Klebsiella pneumonia dan Pseudomonas aeruginosa dapat juga sebagai penyebab.24 Organisme gram positif seperti Streptococcus faecalis (enterokokus), Staphylococcus epidermidis dan Streptococcus viridans jarang ditemukan.2,14
Pada uropati obstruktif dan kelainan struktur saluran kemih pada anak laki-laki sering ditemukan Proteus species.1-3,18
Pada ISK nosokomial atau ISK kompleks lebih sering ditemukan kuman Proteus dan Pseudomonas.7,18
2.4. Patogenesis
Patogenesis ISK sangat kompleks karena melibatkan beberapa faktor seperti faktor pejamu dan faktor organisme penyebab.2,19
Patogenesis ISK asending: 2
Urosepsis
Munculnya tipe uropatogenik
Kolonisasi di perineal dan uretra anterior
FAKTOR PEJAMU ( HOST )
1. Memperkuat perlekatan ke sel uroepitel
2. Refluks vesiko ureter
3. Refluks intrarenal
4. Tersumbatnya saluran kemih
5. Benda asing (kateter urin )
Sistitis
Pielonefritis Akut
VIRULENSI BAKTERI
Barier pertahanan mukosa normal
Flora usus
Parut ginjal
©2003 Digitized by USU digital library 4
Bakteri dalam urin bisa berasal dari ginjal, pielum, ureter, vesika urinaria atau dari uretra. Timbulnya suatu infeksi di saluran kemih tergantung dari faktor predisposisi dan faktor pertahanan tubuh penderita yang masih belum diketahui dengan pasti.2
Bakteri uropatogenik yang melekat pada sel uroepitel, dapat mempengaruhi kontraktilitas otot polos dinding ureter, dan menyebabkan gangguan peristaltiknya. Melekatnya bakteri ke sel uroepitel ini, akan meningkatkan virulensi bakteri tersebut.2
E.coli merupakan organisme yang potensial sebagai penyebab ISK yang asending, tetapi tidak semua galur E.coli dapat berkolonisasi di saluran kemih. Invasi bakteri membutuhkan virulensi uropatogen untuk menyebabkan terjadinya ISK pada anatomi saluran kemih yang normal.1,2,25 Kemampuan melekat kuman ke uroepitel berkat adanya fimbria atau pili yang disebut P – fimbriae, yang mudah menempel pada reseptor spesifik epitel saluran kemih yaitu sejenis karbohidrat yang berisi glikolipid galaktosa a 1–4 galaktosa b (Gal–Gal positive). Kemampuan melekat pada mukosa uroepitel akan meningkatkan virulensi kuman. Glukopid Gal-Gal positive ditemukan pada sel uroepitel orang dengan golongan darah P1, sehingga anak dengan golongan darah P1, akan mengalami risiko terkena pielonefritis akut berulang 11 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak golongan darah P2. Aerobactin suatu zat yang dihasilkan kuman berfungsi mengikat dan menumpuk zat besi yang berguna untuk pertumbuhan kuman.2,14
Pada bakteriuria asimtomatik yang berhubungan dengan galur bakteri yang berkolonisasi di dalam saluran kemih, galur bakteri tetap bertahan sampai timbul gejala ISK atau terjadi invasi galur lain. Galur bakteri tertentu dapat bertahan rata-rata 88 hari tanpa ada demam atau gejala infeksi sistemik.25 Di sisi lain E.coli penyebab bakteriuria asimtomatik virulensinya kurang bila dibandingkan dengan yang terdapat pada pasien dengan ISK simtomatik.1,3,18
2.5. Manifestasi Klinik
Infeksi saluran kemih yang simtomatik gejalanya bergantung pada umur penderita dan lokalisasi infeksi di dalam saluran kemih.2,4 Pada yang asimtomatik dapat dijumpai riwayat infeksi sebelumnya tetapi pada saat itu tidak dijumpai keluhan yang menyebabkan penderita datang untuk berobat.14,18 Riwayat infeksi tersebut sama seperti yang ditemukan pada anak besar dengan ISK simtomatik seperti sakit BAK, sering-sering BAK, rasa ingin BAK terus-menerus, sakit pinggang, demam, dan sakit pada sudut kostovertebral. Enuresis diurnal ataupun nokturnal dapat juga merupakan manifestasi ISK terutama pada anak perempuan dan setiap enuresis harus dicurigai adanya infeksi saluran kemih.26,27 Hasil penelitian menunjukkan 45 % anak perempuan dengan bakteriuria timbul enuresis, sedangkan anak perempuan tanpa bakteriuria kejadian enuresis 17 %.26 Penelitian lain mengatakan bahwa 15 % anak sekolah dengan bakteriuria asimtomatis mengalami enuresis.28
2.6. Evaluasi laboratorium
Urin sebagai medium biakan adalah ideal bagi bakteri karena mengandung nutrien penting dan menyediakan glukosa sebagai sumber energi pertumbuhan bakteri sampai 106 koloni per ml. Faktor keterbatasan dalam pertumbuhan bakteri adalah zat besi yang sedikit dan variasi pH dan osmolalitas.16,17
Untuk penapisan pertama adanya ISK, atau untuk mengetahui infeksi berulang dapat digunakan cara dip slide, plastik dip-stick test (untuk mengetahui adanya nitrit dalam urin), menghitung jumlah bakteri dari sediaan langsung urin yang diwarnai dengan pewarnaan Gram.2,14 Biakan urin merupakan baku emas untuk diagnosis ISK. 28,29
©2003 Digitized by USU digital library 5
Cara pengambilan sampel urin dapat dilakukan dengan kateter,1 aspirasi suprapubik yang dilakukan secara steril, pediatric urine collector bag,2 atau urin pancar tengah pada anak besar atau anak yang sudah dapat diajak bekerjasama untuk menampung urin dengan kemampuan kontrol kandung kemih yang baik.14,18 Untuk interpretasi hasil biakan urin pancar tengah dipakai kriteria Kass yaitu apabila dijumpai pertumbuhan bakteri ≥100.000 koloni/ml urin dengan organisme sejenis sebagai bakteriuria bermakna. Apabila jumlah tersebut berada di antara 10.000–100.000 koloni/ml biakan harus diulang karena meragukan, antara 1000–10.000 koloni/ml urin kemungkinan kontaminasi dan kurang dari 1000 koloni/ml urin dianggap negatif.6 Pada bakteriuria asimtomatik biakan harus dilakukan 3 kali.12, 15,24
2.7. Pengobatan dan Pemantauan Jangka Panjang
Anak-anak bakteriuria asimtomatik dengan saluran kemih yang normal tidak mengakibatkan kerusakan ginjal.11 Perubahan spontan yang karakteristik pada serotipe atau galur bakteri tidak terlihat pada bakteriuria asimtomatik tetapi beberapa peneliti mengatakan virulensi bakteri bisa berkembang selama pemberian terapi antibiotik.17
Sebagai bahan pertimbangan, penanganan bakteriuria dapat mengganggu ketenangan bakteri, dan hasilnya pada pasien yang tidak diterapi tidak diketahui. Penanganan anak dengan bakteriuria asimtomatik dipertimbangkan sebagai hal yang dapat mengurangi angka kesakitan.1 Peneliti lain yang mengevaluasi efikasi antibiotik profilaksis dalam mencegah infeksi pada anak dengan bakteriuria asimtomatik melaporkan bahwa terapi antibiotik tidak mempengaruhi rekurensi jangka panjang atau kecepatan eradikasi.1 Sekalipun bakteriuria diintervensi dengan kemoterapi tidak dijumpai perbedaan yang bermakna dalam kecepatan rekurensi pada grup yang diterapi dan tidak selama 3 tahun observasi1 malah pemberian antibiotik dapat menambah risiko komplikasi antara lain meningkatkan rekurensi pada 80 % kasus.14 Penelitian bakteriuria asimtomatik di Newcastle menunjukkan hal yang sama.9 Anak dengan bakteriuria asimtomatik seharusnya tidak diberi antibiotik karena anak tidak membutuhkan penapisan rutin untuk bakteriuria asimtomatik.19
Pemantauan jangka panjang pada anak dengan bakteriuria asimtomatik menunjukkan 40–50 % biakan menjadi negatif dalam 2–5 tahun tanpa terapi antibiotik spesifik. Fungsi ginjal pada anak dengan bakteriuria asimtomatik akan tetap baik jika tidak dijumpai kelainan urologi atau parut ginjal sebagai faktor penyebab. Pertumbuhan ginjal pada anak tersebut adalah normal dan terbentuknya parut baru tidaklah lazim kecuali disertai kelainan anatomi.1
Dari penelitian epidemiologi pada 60 anak bakteriuria asimtomatik persisten dengan 38 anak yang dipantau selama periode 9-18 tahun disimpulkan bahwa anak perempuan dengan bakteriuria asimtomatik mempunyai risiko besar untuk terjadinya infeksi rekuren yang simtomatik dan timbulnya parut ginjal, namun risiko untuk penurunan fungsi ginjal adalah rendah. Anak-anak yang diberi terapi bebas infeksi dalam jangka panjang dan sedikit kemungkinan untuk berulang.17 Proporsi infeksi berulang selama pemantauan jangka panjang sama pada anak laki-laki dan perempuan.20
Terapi antibiotik 10 hari sampai 2 minggu pada ISK rekuren pada anak tanpa obstruksi saluran kemih menunjukkan eradikasi bakteri sampai 100 %.24 Progresivitas terjadinya parut ginjal pada refluks vesikoureter mungkin dapat dicegah dengan pemberian terapi profilaksis dosis kecil dalam jangka panjang.
Tetapi grup peneliti refluks di Birmingham melaporkan progresivitas parut ginjal juga terjadi secara bermakna walaupun diberi antibiotik profilaksis jangka panjang. Terjadinya pembentukan parut ginjal pada ISK dapat mempengaruhi pertumbuhan ginjal dan adanya parut yang menunjukkan pertumbuhan ginjal yang lebih kecil dari normal. Tetapi jika pada bakteriuria asimtomatik tidak dijumpai adanya parut, maka
©2003 Digitized by USU digital library 6
bakteriuria asimtomatik tersebut adalah jinak dan tidak mempengaruhi panjang ginjal apabila refluks vesiko uretra terjadi pada usia lebih dari 4 tahun.15,31
2.8. Tindak Lanjut
Infeksi pertama saluran kemih pada anak laki-laki dan perempuan harus ditindak lanjuti untuk menghindari obstruksi. Konfirmasi ada tidaknya infeksi ginjal, identifikasi faktor-faktor yang dapat menjadi predisposisi pembentukan parut ginjal khususnya RVU perlu diwaspadai. Tindak lanjut dapat berupa pemeriksaan biakan ulang, USG, foto polos abdomen, studi isotop dengan a technetium-99m dimercaptosuccinic acid (99m Tc DMSA), Mictuating cysto-urethrography dan Intravenous urography. Tetapi yang paling dianjurkan sebagai uji rekomendasi yang minimal pada anak di atas tujuh tahun adalah USG.15,19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain dan Sampel Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitik dengan metode pengumpulan data secara cross sectional. Sampel penelitian terdiri dari anak sekolah dasar (SD) yang secara klinis sehat dan berusia 9-12 tahun.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Medan Tuntungan, Medan pada 17 SD yang ada diwilayah tersebut. Sekolah dasar dipilih secara acak dari semua (32) SD yang ada. Waktu penelitian adalah bulan Januari sampai Maret 2001.
3.3. Populasi Penelitian
Populasi target penelitian berjumlah 10.026 anak di 32 SD yang terdiri dari 22 SD Negeri/Inpres dan 10 SD swasta yang ada di Kecamatan Medan Tuntungan, Medan. Anak yang termasuk dalam penelitian berjumlah 7.043 anak dari 17 SD (13 SD Negeri/Inpres dan 4 SD swasta) sebagai populasi terjangkau.
3.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel
Sampel terdiri dari anak laki–laki dan perempuan berusia 9–12 tahun pada 17 SD di Kecamatan Medan Tuntungan, Medan yang dipilih secara acak.
3.5. Besar sampel
Perkiraan besar sampel ditentukan dengan rumus: 30
22.dQPZαn≥
n = jumlah sampel minimal yang diperlukan
α = tingkat kemaknaan (CI = 95 %), dengan α = 0,05
→ Zα= 1,96
P⌡ = proporsi bakteriuria asimtomatik pada anak SD perempuan usia 9-12 tahun = 2,5 % → q = 97,5 %
P = proporsi bakteriuria asimtomatik pada anak SD laki-laki usia 9-12 tahun = 0,2 % → q = 99,8 %
d = presisi atau batas ditolerir untuk menunjukkan perbedaan antara hasil yang diperoleh dengan yang sesungguhnya = 10 %.
maka jumlah sampel minimal yang positif bakteriuria asimtomatik masing-masing untuk anak laki-laki dan anak perempuan = 1 dan 9.
©2003 Digitized by USU digital library 7
3.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi semua anak usia 9–12 tahun di 17 SD yang ada di Kecamatan Medan Tuntungan, Medan.
Kriteria eksklusi: 1,6
1. Anak dengan gejala ISK seperti demam, sakit BAK, sering BAK, rasa ingin BAK terus menerus, sakit pinggang, menggigil, nyeri sudut kostovertebral
2. Enuresis nokturnal ataupun diurnal
3. Sedang menderita ISPA
4. Sedang mendapat menstruasi
5. Sedang minum antibiotik
6. Menderita kelainan anatomi dan fungsional saluran urogenital yang dapat dideteksi secara klinis.
3.7. Izin Subyek Penelitian
Anak sekolah dimasukkan dalam penelitian bila orangtua peserta sudah memberikan pernyataan kesediaan secara tertulis.
3.8. Definisi Operasional
Bakteriuria bermakna bila ditemukan ≥ 100.000 koloni bakteri/ml urin, meragukan apabila jumlah bakteri antara 10.000 sampai 100.000 koloni bakteri/ml urin, disebut kontaminasi apabila bakteri yang tumbuh ≤ 10.000 koloni bakteri/ml urin, dan tidak tumbuh apabila tidak dijumpai pertumbuhan bakteri.6
3.9. Cara Kerja
Data-data anak dikumpulkan dengan mempergunakan kuesioner terancang yang berisi identitas anak, identitas orangtua, pertanyaan mengenai higiene-sanitasi dan kebiasaan–kebiasaan, serta ada-tidaknya riwayat ISK sebelumnya. Pemeriksaan fisis dilakukan dengan mengukur berat badan, tinggi badan dan melihat ada tidaknya kelainan fisis dan kelainan anatomi genitalia luar yang dapat dideteksi secara klinis.
3.9.1. Pengukuran Antropometri
Berat badan ditimbang dalam keadaan berdiri dengan pakaian seminimal mungkin menggunakan timbangan yang sekaligus mempunyai alat pengukur tinggi badan merk ZT- 120 buatan China. Pengukur berat badan maksimum 140 kg dengan ketepatan 0,1 kg. Pengukur tinggi badan maksimum 200 cm dengan ketepatan 0,1 cm.
3.9.2. Metode laboratorium
Urin yang ditampung adalah urin pagi yang telah terkumpul dalam kandung kemih minimal empat jam. Orifisium uretra eksterna dan daerah perineum dibersihkan tiga kali dengan air sabun, disiram dan dikeringkan dengan kasa steril. Pada anak laki-laki preputium ditarik ke belakang dan pada anak perempuan labia mayor dikuakkan/dipisahkan. Urin pancar tengah ditampung dalam botol steril bermulut lebar dan bertutup. Sampel urin dimasukkan dalam termos yang berisi es. Dilakukan pemeriksaan urin rutin untuk melihat warna dan kejernihan (makroskopis), kimia dan sedimen (miskroskopis). Untuk mengetahui adanya nitrit dalam urin dipakai plastik dip-stick test, dan pewarnaan Gram untuk menghitung jumlah bakteri dari sediaan langsung urin.2 Pemeriksaan hitung jumlah koloni bakteri dilakukan kurang dari 1 jam setelah penampungan atau kurang dari 24 jam jika disimpan pada suhu 4 0C. Hitung jumlah koloni bakteri dilakukan dengan menggunakan sengkelit berisi 0,001 ml dan diratakan pada permukaan media agar darah dan agar McConkey, dieramkan pada suhu 37 0C selama 20-24 jam kemudian dihitung jumlah koloni yang ada.2,29 Biakan dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi
©2003 Digitized by USU digital library 8
FK USU Medan. Biakan urin dilakukan 1 kali pada masing-masing anak, bila meragukan biakan diulang kembali.11,13-15 Apabila hasil biakan bermakna dilakukan uji sensitivitas terhadap beberapa jenis antibiotik.
3.9.3. Status gizi
Status gizi ditentukan berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U) sesuai dengan standar National Center for Health and Statistics (NCHS)–World Health Organization (WHO) dengan batas ambang sebagai berikut :31
3.9.3.1. Status gizi buruk dengan batas atas < -3 standar deviasi (SD)
3.9.3.2. Status gizi kurang dengan batas bawah > -3 SD dan batas atas < -2 SD
3.9.3.3. Status gizi sedang dengan batas bawah > -2 SD dan batas atas < -1 SD
3.9.3.4. Status gizi baik dengan batas bawah > -1 SD
3.10. Analisis Data
Prevalens bakteriuria asimtomatik pada anak laki-laki dan perempuan serta jenis bakteri penyebab bakteriuria asimtomatik dianalisis secara deskriptif. Untuk melihat perbedaan bakteriuria asimtomatik pada anak laki-laki dan perempuan, dan untuk melihat perbedaan bakteriuria berdasarkan karakteristik sampel, higiene-sanitasi serta riwayat ISK digunakan uji kai-kuadrat. Dianggap bermakna bila nilai p<0,05.30 Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer dengan program SPSS (Statistic Package for Social Science) versi 10.0.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Dari 214 anak yang sudah diacak dalam penelitian, 14 anak dikeluarkan dengan alasan data tidak lengkap, tidak hadir pada saat pengambilan sampel urin atau tidak membawa surat persetujuan orangtua.
Tabel 1. Karakteristik sampel
Karakteristik
n
%
Jenis kelamin
Laki-laki
63
31,5
Perempuan
137
68,5
Usia
9 - < 10 tahun
32
16,0
10 - < 11 tahun
50
25,0
11 - < 12 tahun
72
36,0
12 - < 13 tahun
46
23,0
Status Gizi (BB/U)
Baik
76
38,0
Sedang
107
53,5
Kurang
17
8,5
©2003 Digitized by USU digital library 9
Dua ratus sampel yang termasuk dalam penelitian terdiri dari 137 (68,5%) anak perempuan dan 63 (31,5%) anak laki-laki dengan usia rerata 10,945. Umur terbanyak 11 tahun yaitu 72 (36,0%) anak dan status gizi (BB/U) terbanyak adalah gizi sedang yaitu 107 (53,5%) anak.
Tabel 2. Hubungan hasil biakan dengan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Hasil Biakan
Laki-laki
Perempuan
n
%
p
Bermakna
2
14
16
8
< 0,05
Tidak bermakna
61
123
184
92
Jumlah
63
137
200
100
Tabel di atas menunjukkan urin pancar tengah yang menunjukkan bakteriuria bermakna didapat pada 16 orang (8%) dan bakteriuria tidak bermakna (biakan dengan kontaminasi bakteria dan tidak ada pertumbuhan bakteri) pada 184 orang (92%). Dijumpai perbedaan bakteriuria asimtomatik yang bermakna secara statistik antara anak laki-laki (2 anak) dan perempuan (14 anak) dengan nilai p <0,05.
Tabel 3. Hubungan usia dan status gizi dengan jenis kelamin pada anak dengan bakteriuria asimtomatik
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Karakteristik
n
%
n
%
n
%
Usia
9 - < 10 tahun
1
6,2
1
6,3
2
12,5
10 - < 11 tahun
0
0
3
18,8
3
18,8
11 - < 12 tahun
0
0
7
43,7
7
43,7
12 - < 13 tahun
1
6,2
3
18,8
4
25,0
Status Gizi (BB/U)
Baik
2
12,5
2
12,5
4
25,0
Sedang
0
0
11
68,8
11
68,8
Kurang
0
0
1
6,2
1
6,2
Dari tabel di atas terlihat bahwa bakteriuria asimtomatik paling banyak dijumpai pada anak perempuan usia 11 - < 12 tahun yaitu 7 anak dan berdasarkan status gizi (BB/U) dijumpai gizi sedang sebagai status gizi terbanyak yaitu 11 anak.
©2003 Digitized by USU digital library 10
Tabel 4. Hubungan higiene-sanitasi dan kebiasaan anak dengan bakteriuria asimtomatik
Bakteriuria asimtomatik
Bermakna
Tidak Bermakna
Higiene-sanitasi
dan kebiasaan
n
%
n
%
p
Cebok sesudah BAK
Ya
Tidak
14
2
8,1
7,1
158
26
91,9
92,9
0,857
Cebok sesudah BAB
Ya
Tidak
16
0
8,2
0
179
5
91,8
100,0
0,504
Tidak lancar BAB
Ya
Tidak
1
15
3,7
8,7
26
158
96,3
91,3
0,376
Sering menahan kencing
Ya
Tidak
6
10
10,2
7,1
53
131
89,8
92,9
0,464
Malas minum
Ya
Tidak
5
11
11,6
7,0
38
146
88,4
93,0
0,322
Sumber air MCK
0,834
PDAM
7
8,9
72
91,1
Sumur
9
7,6
109
92,4
Sungai
0
0
3
100,0
Tabel di atas menunjukkan bahwa tidak dijumpai perbedaan yang bermakna secara statistik antara higiene-sanitasi dan kebiasaan-kebiasaan anak dengan bakteriuria asimtomatik yang bermakna dan tidak bermakna.
©2003 Digitized by USU digital library 11
Tabel 5. Hubungan riwayat ISK anak dengan bakteriuria asimtomatik
Bakteriuria asimtomatik
Bermakna
Tidak Bermakna
Riwayat ISK
n
%
n
%
p
Sakit BAK
Ya
Tidak
4
12
18,2
6,7
18
166
81,8
93,3
0,062
Sakit pinggang
Ya
Tidak
2
14
4,8
8,9
40
144
95,2
91,1
0,384
Rasa ingin kencing terusmenerus
Ya
Tidak
2
14
3,8
9,5
51
133
96,2
90,5
0,186
Kencing keruh
Ya
Tidak
4
12
8,9
7,7
41
143
91,1
92,3
0,803
Panas tinggi/menggigil
Ya
Tidak
9
7
12,2
5,6
65
119
87,8
94,4
0,096
Mengompol
Ya
Tidak
7
9
11,3
6,5
55
129
88,7
93,5
0,250
Tabel di atas menunjukkan bahwa tidak dijumpai perbedaan yang bermakna secara statistik antara riwayat ISK pada anak dengan bakteriuria asimtomatik yang bermakna dan tidak bermakna.
Tabel 6. Jenis mikroorganisme anak dengan bakteriuria asimtomatik menurut umur
Umur (tahun)
Jenis Bakteri
9 - <10
10 - <11
11 - <12
12 - <13
Jumlah
E.coli
1
2
2
1
6
Staphyloccocus epidermidis
1
1
4
-
6
Staphyloccocus aureus
-
-
-
2
2
Pseudomonas aeruginosa
-
-
-
1
1
Klebsiella
-
-
1
-
1
Jumlah
2
3
7
4
16
Tabel di atas menunjukkan jenis mikroorganisme pada 16 anak dengan bakteriuria asimtomatik adalah E.coli 6, Staphyloccoccus epidermidis 6, Staphylococcus aureus 2, Klebsiella 1, dan Pseudomonas aeruginosa 1.
4.2. Pembahasan
Bakteriuria bermakna pada anak tanpa gejala klinis biasanya dijumpai pada pemeriksaan rutin/uji tapis5 dan sering terjadi pada anak-anak khususnya pada anak perempuan usia sekolah.10,11 ©2003 Digitized by USU digital library 12
Pada penelitian ini usia anak 9-12 tahun dipilih berdasarkan pertimbangan pada usia tersebut anak sudah dapat diajak kerjasama untuk menampung urin dengan kemampuan kontrol kandung kemih yang baik. Urinalisis yang dilakukan pada anak secara makroskopis maupun mikroskopis tidak menunjukkan kemaknaan dengan hasil biakan. Warna urin dengan bakteriuria bermakna umumnya jernih dan hitung jumlah lekosit bervariasi antara 0 sampai 8 per lapangan pandang besar.
Dari semua sampel pada penelitian ini dijumpai 14 (7%) anak perempuan usia 9-12 tahun dengan bakteriuria asimtomatik terbanyak berusia 11 - < 12 tahun (7 orang). Hal tersebut sama dengan penelitian uji tapis sebelumnya yang mendapatkan bakteriuria asimtomatik lebih sering pada anak perempuan usia sekolah dibanding anak laki – laki.8-10
Penelitian pada anak sekolah dasar dan sekolah lanjutan di Virginia mendapatkan prevalens bakteriuria asimtomatik pada anak perempuan 5%, sedangkan pada anak laki-laki hanya 0,03 %.4
Pada penelitian ini dari keseluruhan sampel dijumpai 2 (1%) anak laki-laki dengan bakteriuria bermakna, masing-masing berumur 9-<10 tahun dan 12 - <13 tahun, keduanya tidak disirkumsisi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insiden ISK lebih tinggi pada anak laki-laki yang tidak disirkumsisi, karena kulup preputium merupakan tempat penyimpanan organisme uropatogen,22 dan akhir-akhir ini dilaporkan bahwa sirkumsisi akan menurunkan risiko ISK pada anak laki-laki.2
Persentase bakteriuria asimtomatik pada penelitian ini lebih tinggi dibanding dengan penelitian uji tapis ISK pada anak yang pernah dilaporkan.15 Hal ini mungkin karena kebiasaan-kebiasaan anak seperti suka menahan kencing,1 malas minum3 dan cara cebok yang tidak benar (dari belakang ke depan), serta faktor higiene dan sanitasi yang tidak baik.17 Satu dari beberapa faktor penting terhadap berkembangnya ISK adalah stasis urin. Sterilitas urin yang normal sebagian tergantung pada aliran urin sehingga bakteri yang akan memasuki kandung kemih dikeluarkan sebelum terjadi multiplikasi secara bermakna.16 Anak yang suka menahan kencing memungkinkan bakteri tumbuh dan berkembang dalam saluran kemih karena urin merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.8,17
Pada anak dengan bakteriuria asimtomatik dalam penelitian ini dijumpai riwayat ISK sebelumnya saat dilakukan uji tapis. Kemungkinan infeksi pada anak dalam penelitian ini adalah 80 % karena kultur dilakukan hanya satu kali dan pada saat penelitian anak sedang mengalami infeksi berulang yang asimtomatis, di mana sebelumnya adalah simtomatis tetapi tidak terdeteksi. Diperkirakan 30-50 % ISK berulang berlangsung asimtomatik.13
E. coli adalah kuman yang paling sering ditemukan baik pada bakteriuria simtomatik maupun asimtomatik.2 Pada anak, adanya bakteriuria pada saluran kemih umumnya berasal dari perineum dan orifisium uretra yang menjalar secara asenden tanpa menimbulkan gejala yang mengarah ke saluran kemih.10 Pada penelitian ini dijumpai bakteriuria asimtomatik terbanyak adalah E.coli (6 spesimen) dan Staphylococcus epidermidis (6 spesimen). E.coli sebagai flora kolon, merupakan sumber organisme yang dapat menyebabkan ISK tetapi tidak semua tipe E.coli ini mempunyai kemampuan untuk membentuk koloni dalam saluran kemih. Hanya bakteri yang mempunyai virulensi uropatogenik yang dapat menyerang saluran kemih dengan dengan anatomi normal.2 Kemampuan E.coli melekat ke sel epitel berhubungan dengan fimbria atau pili bakteri yang terikat ke reseptor spesifik pada sel epitel. Di samping itu E.coli mempunyai antigen K kapsular yang mempengaruhi resistensi terhadap fagositosis. Tambahan, galur E.coli tertentu yang sering menyebabkan ISK lebih resisten terhadap aktivitas serum bakterisidal dibanding galur E.coli yang jarang menyebabkan ISK16 Adapun variasi galur mikroorganisme yang terdeteksi dalam biakan urin ini menggambarkan bahwa sumber bakteri bukan
©2003 Digitized by USU digital library 13
hanya saluran cerna, atau periuretra, juga dari kulit atau saluran nafas atas yang menyebar dari orofaring ke saluran urogenital.
Anak dengan bakteriuria bermakna kami beri terapi sesuai dengan hasil uji sensitivitas dengan alasan anak sedang mengalami infeksi berulang yang asimtomatis. Infeksi ulangan khususnya pada anak perempuan sering tidak menunjukkan gejala yang khas untuk ISK.2,32 Beberapa peneliti mengemukakan pasien-pasien bakteriuria asimtomatik tidak perlu diberi terapi dengan alasan pemberian antibiotik berpotensi merubah flora normal dan meningkatkan kolonisasi uropatogen sehingga perlu diantisipasi sebagai problem pada bakteriuria asimtomatik.24 Peneliti lain mengemukakan pasien-pasien bakteriuria asimtomatik yang tidak diterapi menunjukkan pertumbuhan ginjal yang normal tanpa ada parut ginjal ,9,20 dan eliminasi bakteriuria asimtomatik pada anak menyebabkan rekurensi pada 80 % kasus.24 Namun para peneliti tersebut tidak merinci apakah infeksi dimaksud termasuk infeksi berulang atau tidak. Deteksi, pencegahan dan pengobatan infeksi berulang sulit dilaksanakan, karena umumnya infeksi ulangan tidak disertai demam sehingga orang tua jarang membawa anaknya untuk pemeriksaan lanjutan. Kapan mengobati bakteriuria asimtomatik yang dijumpai selama penapisan tetap merupakan pertanyaan.
Penelitian prospektif Aggarwal dkk, pada 58 anak perempuan usia sekolah dengan bakteriuria asimtomatik, 27 anak diberi terapi dan dipantau selama 11,2 tahun mendapatkan tidak dijumpai parut ginjal pada anak yang kedua ginjalnya normal, tetapi pada anak dengan refluks nefropati dijumpai pembentukan parut yang progressif pada ginjal 3 anak dan parut baru pada ginjal 2 anak dengan ukuran ginjal yang mengecil dibanding waktu awal pemeriksaan. Mereka memberi terapi dengan tujuan mencegah kerusakan ginjal karena penelitian sebelumnya pada anak sekolah dengan bakteriuria asimtomatik dijumpai refluks vesikoureter 25 % - 33 %. Keadaan ini merupakan penyebab penting hipertensi berat pada anak dan menyebabkan 10 % kasus mengalami gagal ginjal terminal.15
Tambunan dkk, menemukan bakteriuria bermakna pada 10 anak dari 499 anak SD kelas 3–5 yang diteliti. Mikroorganisme yang dijumpai adalah E.coli, Proteus sp, Pseudomonas, Staphylococus dan Streptococcus. Anak dengan bakteriuria asimtomatik tidak diberi terapi dengan alasan bakteriuria asimtomatik akan sembuh sendiri. Pada biakan ulang dua minggu kemudian dijumpai 4 anak tetap dengan bakteriuria bermakna dan biakan ulang berikutnya dua minggu kemudian masih positif bakteriuria dengan galur bakteri yang sama.12 Peneliti lain mengevaluasi efek terapi dan tidak diterapi pada anak sekolah dengan bakteriuria asimtomatik dan mendapatkan bahwa terapi dapat menurunkan persentase persisten bakteriuria.16
Bila tidak ditemukan adanya defek anatomi saluran kemih, dianggap penyebab risiko ISK adalah faktor pejamu. Melekatnya bakteri ke sel uroepitel, merupakan prasyarat untuk timbulnya kolonisasi bakteri. Sel uroepitel anak sangat rentan terhadap infeksi , karena memiliki kapasitas untuk mengikat bakteri disebabkan adanya reseptor pada sel tersebut.2 Bakteriuria asimtomatik yang tidak disertai RVU dan kelainan anatomis umumnya adalah jinak dan prognosis adalah baik.Tetapi bila saat ditemukan bakteriuria asimtomatik tidak jelas apakah hal tersebut merupakan infeksi pertama, berulang atau kronik perlu ditelusuri adanya faktor-faktor predisposisi atau kelainan bedah yang harus dikoreksi. Bila sudah sempat terjadi parut ginjal atau nefropati refluks prognosis kurang baik karena penyakit akan berlangsung progresif menuju ke arah gagal ginjal kronik.3
Selain pengobatan yang ditujukan terhadap infeksi dan kelainan bedah yang dapat dikoreksi, perlu diperhatikan antara lain: dianjurkan minum yang cukup dan kencing teratur dan jangan suka menahan kencing. Pada anak dengan gangguan pengosongan urin (RVU) dianjurkan melakukan miksi berulang satu atau dua menit sesudah miksi pertama, mengurangi atau menghilangkan faktor predisposisi lain ©2003 Digitized by USU digital library 14
seperti obstipasi, higiene perineal yang tidak baik dan sebagainya.3 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pola berkemih yang normal dapat mencegah RVU.17
Pendekatan alternatif penanganan bakteriuria berulang pada anak perempuan tanpa kelainan urologi yang bermakna dapat berupa tidak diberi terapi, terapi episode individual, dan terapi profilaksis jangka panjang. Beberapa bahkan tidak memberi terapi dengan asumsi bakteriuria asimtomatik tidak terdeteksi dan tidak perlu diterapi.33 Infeksi saluran kemih berulang terjadi pada lebih kurang 30% anak setelah infeksi pertama dan risiko tersebut meningkat sebanyak 75% pada anak yang sebelumnya pernah 3 kali ISK. Prinsip penanganan pada anak dengan ISK berulang khususnya yang disertai refluks dengan atau parut ginjal adalah untuk mencegah kerusakan ginjal yang lebih berat dan komplikasi yang berhubungan dengan insufisiensi ginjal kronik.34 Pada keadaan ini hanya antimikroba profilaksis untuk pencegahan ISK berulang yang direkomendasikan.
Keterbatasan penelitian ini adalah besar sampel kurang mencukupi dan biakan dilakukan hanya satu kali, sedangkan biakan pada penderita asimtomatik sebaiknya diulang.7 Biakan ulang pada bakteriuria asimtomatik sebaiknya dilakukan 3 kali12 untuk melihat apakah bakteriuria tetap positif atau menjadi negatif atau terjadi perubahan galur bakteri yang ditemukan atau positif dengan galur bakteri yang berbeda15,24 Maka disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar. Keterbatasan lain dari penelitian ini adalah pada anak-anak dengan bakteriuria asimtomatik ini tidak dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal dan pencitraan seperti USG, dan pemeriksaan lain yang dapat mendeteksi kemungkinan anak tersebut menderita RVU atau ada-tidaknya parut ginjal karena keterbatasan biaya. Sedang hal tersebut perlu untuk pemantauan jangka panjang apakah dijumpai perubahan anatomis ginjal di kemudian hari.20,34
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1. Kesimpulan
Dijumpai perbedaan bakteriuria asimtomatik pada anak sekolah dasar laki-laki dan perempuan usia 9-12 tahun, dengan prevalens 1 % pada anak laki-laki dan 7 % pada anak perempuan.
Jenis bakteri penyebab bakteriuria asimtomatik yang terbanyak adalah Escherichia coli dan Staphylococcus epidermidis.
5. 2. Saran
5.2.1. Perlu dipertimbangkan penapisan bakteriuria asimtomatik pada anak sekolah dasar.
5.2.2. Perlu ditingkatkan kewaspadaan terhadap ISK berulang yang asimtomatik melalui penapisan bakteriuria asimtomatik pada anak sekolah dasar terutama bila dijumpai riwayat ISK.
5.2.3. Perlu dilakukan biakan ulang pada penderita asimtomatik bakteriuria.
5.2.4. Perlu penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar.
5.2.5. Perlu dilakukan tindak lanjut berupa pemeriksaan fungsi ginjal, pencitraan dan pemantauan jangka panjang pada anak dengan bakteriuria asimtomatik.
©2003 Digitized by USU digital library 15
DAFTAR PUSTAKA
Aggarwal VK, Jones KV, Asscher AW, Evans C, Williams LA. Covert bacteriuria: long term follow up. Arch Dis Child 1991; 66:1284-6.
Alatas H. Penatalaksanaan infeksi saluran kemih kompleks pada anak. Dalam: Wila Wirya IGN, Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, penyunting. Penanggulangan masalah uronefrologi pada anak. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI XXIX. FKUI; 1993 24-25 September; Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 1993; h. 107-26.
Anonim. Baku rujukan antropometri, klasifikasi status gizi dan batas ambangnya. Hasil rekomendasi semiloka antropometri di Indonesia. Ciloto 3–7 Februari 1991.
Bergstrom T. Sex differences childhood urinary tract infection. Arch Dis Child 1972; 47:227-32.
Cascio S, Colboun E, Puri P. Bacterial colonization of the prepuce in boys with vesicoureteral refluks who receive antibiotic prophylaxis. J. Pediatr 2001; 139:160-2.
Coulthard MG, Lambert HJ, Keir MJ. Occurrence of renal scars in children after their first referal for urinary tract infection. BMJ 1997; 315:918-9.
Dawson C, Whitfield H. ABC of urology: Urinary incontinence and urinary infection. BMJ 1996; 312:961-4.
Elder JS. Urologyc disorders in infants and children. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia: Saunders, 2000. h. 1621-5.
Gauthier B, Edelman CM, Barnett HL, penyunting. Urinary tract infection. Dalam: Nephrology and urology for the pediatrician. Edisi ke-1. Boston: Little, Brown and Company, 1982; h.73-85.
Hellerstein S. Recurrent urinary tract infecstions in children. Pediatr Infect Dis 1982; 1: 271-81.
Honkinen O, Lehtonen OP, Ruuskanen O, Huovinen P, Mertsola J. Cohort study of bacterial species causing urinary tract infection and urinary tract abnormalities in children. BMJ 1999; 318:770-1.
Hull RA, Rudy DC, Donovan WH, Wieser IE, Stewart C, Darouiche RO.Virulence properties of esherichia coli 83972, a prototype strain associated with asymptomatic bacteriuria. Am Soc Microbiology1999; 67:429-32.
Jodal U. Urinary tract infections : Significance, pathogenesis, clinical features and diagnosis. Dalam: Posleth waite RJ, penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-2. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1994. h. 151-9.
Jones KV. Urinary trcat infection in childhood. Med Int 1995; 9:184-8.
Kass EH. Asymptomatic infections of the urinary tract. Boston: Trans assoc amer Physicians, 1956. h. 56-64.
Kehr KK, Leichter HE. Urinary tract infection. Dalam: Clinical pediatric nephrology. New York: McGraw Hill, 1992. h. 277-306.
Lohr JA, Nunley DH, Howards SS, Ford RF. Prevention of recurrent urinary tract infections in girls. Pediatrics 1977; 59:562-5
Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Binarupa Aksara, 1995. h. 187-212.
MCCracken GH. Diagnosis and management of acute urinary tract infections in infants and children. The Pediatric Infect Dis J 1987; 6:107-12.
©2003 Digitized by USU digital library 16
MCCracken GH. Options in antimicrobial management of urinary tract infection in infants and children. Ped Inf Dis J 1989; 8:552-5.
Meadow R. Chilhood enuresis. Med Int 1995; 9:211-4.
Newcastle Asymptomatic Research Group. Asymptomatic bacteriuria in school children in newcastle upon tyne. Arch Dis Child 1975; 50: 90-102.
Pappas PG. Laboratory in the diagnosis and management of urinary tract infections. Med Clin North Am 1991; 75:313-25.
Pead L, Maskell R. Study of urinary tract infection in children in one health district. Br Med J, 1994; 309: 631-4.
Rusdidjas, Ramayati R. Infeksi saluran kemih (ISK). Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI 2002. h. 142-63.
Santen SA, Altieri MF. Pediatric urinary tract infection. Emerg Med Clin North Am 2001; 19:1-12.
Sekarwana N. Enuresis. Dalam: Alatas H., Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI 2002. h. 291-308.
Tambunan T, Kumalawati Y, Trihono PP, Giantini A, Kadim M, Irawani V. Covert bacteriuria in school children. Pediatr Indones 2001; 41:38-41.
Tambunan T. Infeksi saluran kemih. Dalam: Pardede N, Bakri A, Aditiawati, Prambudi R, Herman E, penyunting. Buku naskah lengkap kuliah umum pit idai 1 palembang. Palembang : Ikatan Dokter Anak Indonesia 2001. h.111-34.
TambunanT. Infeksi saluran kemih kronik. Disampaikan pada Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak X, buku pertama. Bukittinggi: Pancaran Ilmu 1996. h. 96-104.
Travis LB, Brouhard BH. Infections of the urinary tract. Dalam: Rudolf AM, Hoffman JIE, Rudolph CD, penyunting. Rudolph’s pediatrics. Edisi ke-20. London: Prentice Hall Int 1996. h. 1388-99.
U.S. Department of health, education, and welfare. Urine collection and culture. Dalam: Laboratorium methods in clinical bacteriology course no.8380-C techniques. Atlanta: Public health service center for diseases control, 1977. h. 110-4.
Winberg J, Andersen HJ, Bergstrom T, Jacobsson B, H.Larson H, Lincoln K. Epidemiology of symptomatic urinary tract infection in childhood. Acta Pediatr Scand Suppl 252 1974;1-20.
Winberg J, Bergstrom T, Jacobsson B. Mordibity, age and sex distribution, recurrences and renal scarring in symptomatic urinary tract infection in chilhood. Kidney Int 1975; 8:101-6.
©2003 Digitized by USU digital library 17

KIAT SEDERHANA TANGKAL RADIKAL BEBAS


ARTIKEL PERTAMA :

Suplementasi Vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau lebih rendah) yang dilakukan secara berkala kepada anak, dimaksudkan untuk menghimpun cadangan Vitamin A delam hati, agar tidak terjadi kekurangan vitamin A dan akibat buruk yang ditimbulkannya, seperti xeroptalmia, kebutaan dan kematian. Cadangan vitamin A dalam hati ini dapat digunakan sewaktu-waktu bila diperlukan.
Pemberian kapsul vitamin A 200.000 SI kepada anak usia 1-5 tahun dapat emberi perlindungan selama 6 bulan, tergantung berapa banyak vitamin A dari makanan sehari-hari dikonsumsi oleh anak dan penggunaannya dalam tubuh.
TANYA JAWAB TENTANG HIPERVITAMINOSIS VITAMIN A
1.a. Apakah kapsul vitamin A 200.000 SI berbahaya bila diberikan kepada anak umur 1 tahun yang telah cukup mengkonsumsi makanan-makanan sumber vitamin A ?
Tidak. Pada anak-anak, dosis tunggal vitamin A 200.000 SI masih dibawah maksimum daya simpan hati. Kira-kira 50 % dari dosis yang akan disimpan dalam tubuh anak.
1.b Apakah pemberian itu justru akan menolong?
Ya, untuk mencegah kekurangan vitamin A dan akibat-akibatnya termasuk xeroftalmia dan meningkatnya kemaian, sekiranya masukan suplai vitamin A melalui makanan menurun oleh karena berkurangnya nafsu makan, karena sakit. Setelah beberapa waktu menderita kekurangan vitamin A dan/atau menderita penyakit infeksi, cadangan vitamin A yang ada dalam hati cepat sekali terkuras
2.a. Jika seorang anak umur 1 tahun telapak tangannya kekuning-kuningan apakah ini tanda kebanyakan karoten ?
Hal itu merupakan suatu kemungkinan, tetapi sangat jarang terjadi, bahwa pada umur tersebut seorang anak dapat/akan mengkonsumsi karoten dalam jumlah yang dapat menyebabkan perubahan warna kulit.
2c. Apakah kapsul vitamin A dosis 200.000 SI membahayakan?
Tidak. Suplemen kapsul vitamin A dosis tunggal 200.000 SI tidak akan membahayakan, meskipun konsumsi karoten anak tersebut telah tinggi. Hypervitaminosis tidak disebabkan karena kebanyakan konsumsi karotenoid, terutama sekali karena rendahnya tingkat konversi karotenoid menjadi vitamin A.
Catatan :
Ada berbagai bentuk vitamin A. Bentuk jadi vitamin A (retinol) terdapat pada mamalia dan ikan. Karotenoid adalah bentuk provitamin A yang terdapat dalam sayur-sayuran daun berwarna hijau tua dan beberapa buah-buahab berwarna, yang didalam didinding usus diubah menjadi vitamin A aktif. Karotenoid tidak toksis tetapi dapat mewarnai jaringan lemak dan menyebabkan kulit berwarna kekuning-kuningan apabila dikonsumsi dalam dosis yang sangat besar dan dalam jangka waktu yang lama.
3. Apakah kapsul vitamin A 200.000 SI berbahaya bagi anak umur 1 tahun yang menderita penyakit kuning (jaundice)?
Tidak. Kapsul vitamin A 200.000 SI tidak membahayakan anak umur 1 tahun yang menderita penyakit kuning. Penyakit kuning disebabkan karena kerusakan sel-sel darah merah dalam jumlah yang berlebihan, peradangan hati dan/atau penyumbatan dalam hati. Pada semua tipe penyakit kuning, pengobatan harus ditujukan kepada penyebabnya, bukan pada gejalanya. Suplementasi vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, dianjurkan.
4. Apa yang akan terjadi bila bayi umur 6 bulan mendapat vitamin A 200.000 SI ?
Bayi umur dibawah 6 yang mendapat dosis tunggal lebih dari 100.000 SI mungkin akan mengalami penonjolan ubun-ubun (bagian lunak pada kepala bayi). Tetapi keadaan ini hanya terjadi pada sebagian kecil bayi (<1%). Penonjolan ini akan membantu menghilangkan tekanan intrakranial yang hanya sedikit meningkat. Tanda-tanda ini hanya sementara dan hilang dalam waktu 2 hari. Jika anak mengkonsumsi vitamin A dosis lebih dari 200.000 SI, maka anak akan merasa agak mual, muntah atau sakit kepala. Hasil ini terjadi pada 5-20 % anak-anak yang mendapat 300.000 SI – 400.000 SI sekali minum. Dosis yang lebih besar dalam jangka waktu yang lebih sering dapat menimbulkan efek samping dan harus dihindari
5. Pemberian vitamin A dosis 50.000 IU kepada bayi umur 6 minggu katanya dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat disembuhkan. Apakah betul ?
Pedoman WHO (“Field guide to the detection and control of Xerophthalmia, WHO, 1982”) menganjurkan agar anak-anak diberi vitamin A 50.000 IU pada saat lahir (atau 25.000 IU pada kunjungan EPI (kontak imunisasi), yaitu 4 kali dalam umur 6 bulan pertama) untuk mencegah kekurangan vitamin A dan meningkatkan cadangan vitamin A dalam hati.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian vitamin A 50.000 IU dosis tunggal kepada anak -anak di bawah umur 1 bulan tidak menunjukkan, bahwa efek samping. Khususnya, data yang diperoleh dari ribuan anak-anak di Nepal menunjukkan bahwa neonatus (umur < 1 bulan) tahan terhadap dosis tunggal 50.000 IU tanpa tanda-tanda terjadi efek kelebihan. Hanya sedikit sekali dari bayi-bayi usia 1-5 bulan yang mendapat dua kali jumlah ini (100.000 IU sebagai dosis tunggal) yang menunjukkan sedikit penonjolan ubun-ubun (+0.5 %) dan muntah-muntah (+2.0 %). Efek samping terjadi hanya untuk sementara.
6. Apakah bayi dapat mengalami kelebihan vitamin dari ASI, sekiranya ibunya mengkonsumsi terlalu banyak vitamin A ?
Tidak. Telah dibuktikan bahwa ibu menyusui serta bayinya akan memperoleh keuntungan jika ibu mendapat vitamin A oral 200.000 IU dosis tunggal segera setelah melahirkan (dalam waktu 1 bulan/masa nifas) Ini akan menjamin jumlah vitamin A yang cukup dalam ASI untuk membantu memenuhi kebutuhan anak. Jumlah vitamin A dalam ASI tidak akan mencapai kadar yang membahayakan bagi bayi, betapa banyakpun bayi itu disusui. Karena itu kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000) IU harus diberikan kepada ibu nifas.
Catatan
Meskipun konsumsi dan kadar serum vitamin A dari ibu cukup, konsentrasi vitamin A (retinol dan karoten) dalam ASI akan menurun setelah beberapa lama menyusui dan penurunan terbesar terjadi pada awal masa laktasi.
7. Jika ibu hamil mengkonsumsi terlalu banyak vitamin A, apakah ada resiko terhadap janinnya?
Ada kemungkinan terjadi resiko pada janin, bila si ibu mengkonsumsi vitamin A dalam jumlah yang berlebihan, terutama pada trimester pertama. Hasil percobaan binatang menunjukkan terjadi cacat bawaan, baik akibat hipovitaminosis maupun hipervitaminosis A selama kehamilan; tetapi pada manusia hasil tersebut secara statistik tidak bermakna.
Meskipun demikian, mengingat adanya data tentang akibat tersebut diatas, baik pada manusia maupun hewan, bagi wanita-wanita usia subur yang mungkin sedang hamil (misalnya bila telah lebih 6 bulan setelah kelahiran bayi terakhir), sebaiknya hanya mengkonsumsi vitamin A dengan kadar yang secukupnya saja.
8. Apakah vitamin A aman diberikan kepada wanita hamil?
Vitamin A dosis tinggi tidak dianjurkan untuk diberikan kepada wanita hamil. Untuk menjaga kesehatan dapat diberikan dosis kecil, yaitu yang tidak melebihi 10.000 IU per hari.
9. Bagaimana dengan wanita hamil yang menderita bercak Bitot atau gejala lain dari xeroftalmia?
Jika wanita hamil menderita rabun senja atau bercak Bitot, ia harus mendapat vitamin A oral 10.000 IU tiap hari paling sedikit selama 2 minggu.
Bila terjadi xeroftalmia dengan lesi kornea yang aktif pada wanita usia subur atau pada wanita yang mungkin sedang hamil, harus dipertimbangkan antara resiko yang mungkin terjadi pada bayi akibat vitamin A dosis tinggi, dan akibat serius kekurangan vitamin A pada ibu bila ibu tidak mendapat vitamin A dosis tinggi. Menurut WHO, UNICEF dan IVACG, adalah beralasan bahwa dalam keadaan seperti ini ibu segera diberi vitamin A 200.000 IU
10. Sebagai seorang dokter dan pengelola program vitamin A, apa yang harus diketahui tentang frekuensi suplementasi vitamin A/distribusi?
Setiap anak yang membutuhkan vitamin A harus mendapat vitamin A. Ini termasuk juga anak-anak dalam masa pertumbuhan yang seharusnya mendapat vitamin A setiap 6 bulan sekali. Perlu ditambahkan, ini juga termasuk anak-anak yang beresiko tinggi, misalnya terhadap diare yang kronis, campak dan lain-lain. Sebagai contoh, seorang anak yang menderita campak dan telah mendapatkan vitamin A dosis 200.000 IU bulan yang lalu harus mendapatkan tambahan 1 kapsul vitamin A 200.000 IU dan bila perlu diberikan 1 kapsul lagi hari berikutnya. Hal ini akan meningkatkan proses penyembuhan anak dan mencegah kekurangan vitamin A serta komplikasinya.
11. Kapan “hipervitaminosis” atau kelebihan vitamin A dapat terjadi ?
Hipervitaminosis akut
Jika anak umur 1-5 tahun menkonsumsi lebih dari 300.000 IU dosis tunggal, maka mungkin akan menderita mual, sakit kepala dan anoreksia
Hipervitaminosis kronis
Bayi dan anak usia muda dapat menderita hipervitaminosis kronis, jika mereka megkonsumsi lebih dari 25.000 IU tiap hari selama lebih dari 3 bulan baik yang berasal dari makanan maupun dari pemberian suplemen vitamin.
12. Bagaimana tanda-tanda atau gejala-gejala hipervitaminosis vitamin A?
Hipervitaminosis vitamin A
Suatu kondisi dimana kadar vitamin A dalam darah atau jaringan tubuh begitu tinggi sehingga menyebabkan timbulnya gejala-gejala yang tidak diinginkan
Hipervitaminosis akut
Disebabkan karena pemberian dosis tunggal vitamin A yang sangat besar, atau pemberian berulang dosis tunggal yang lebih kecil tetapi masih termasuk dosis besar karena dikonsumsi dalam periode 1-2 hari.
Hipervitaminosis A akut
Pada bayi dan anak-anak biasanya terjadi dalam waktu 24 jam. Pada beberapa anak, mengkonsumsi dosis 300.000 IU atau lebih dapat menyebabkan mual, muntah dan sakit kepala. Penonjolan ubun-ubun dapat terjadi pada bayi umur kurang dari 1 tahun yang mengkonsumsi dosis yang sangat besar. tetapi ini ringan dan akan hilang seketika dalam waktu 1-2 hari. Pengobatannya adalah menghentikan suplementasi vitamin A dan pengobatan simptomatis.
Hipervitaminosis kronis
Disebabkan karena mengkonsumsi dosis tinggi yang berulang-ulang dalam waktu beberapa bulan atau beberapa tahun. Keadaan ini biasanya hanya terjadi pada orang dewasa yang mengatur pengobatannya sendiri.
Hipervitaminosis A kronis
Pada anak-anak usia muda dan bayi biasanya menyebabkan anoreksia (tidak nafsu makan), kulit kering, gatal dan kemerahan, peningkatan tekanan intra-kranial, bibir pecah-pecah, tungkai dan lengan lemah dan membengkak. Pengobatannya adalah menghentikan suplementasi vitamin A dan pengobatan simptomatis. Disamping itu hendaknya terhadap kemungkinan penyakit lain yang dapat merupakan penyebabnya.
13. Jika seseorang mengkonsumsi vitamin A dosis tinggi yang melebihi 200.000 IU, apa yang terjadi pada vitamin A yang berlebih tersebut dalam tubuh?
Sebagian besar dari vitamin A yang berlebih tersebut dalam bentuk yang tidak berubah akan dikeluarkan melalui air seni dan tinja, selebihnya disimpan dalam hati.
Dalam kasus-kasus khusus (jarang terjadi), pemberian vitamin A jangka panjang akan menyebabkan simpanan dalam hati menjadi jenuh, kadar vitamin A dalam hati dan darah akan tetap tinggi sampai tubuh menggunakan kelebihan vitamin A tersebut.
14. Apakah akan terjadi kerusakan hati yang permanen akibat vitamin A dosis tinggi?
Dengan dosis yang sangat tinggi lebih dari berbulan-bulan atau bertahun-tahun, hati dapat membesar dan berlemak. Namun demikian, hati akan kembali normal, begitu suplementasi vitamin A yang berlebihan tersebut dihentikan.
15. Berapa banyak kapsul vitamin A 200.000 IU yang ditelan sekaligus, yang dianggap toksis untuk anak umur 1 tahun yang “intake” vitamin A-nya cukup; dan untuk yang kekurangan vitamin A?
Anak umur 1 tahun tidak diberi dalam bentuk kapsul, kapsul harus dipotong dan dipencet hingga semua isinya masuk dalam mulut anak. Dengan demikian untuk menelan beberapa kapsul sekaligus tampaknya tidak akan terjadi. Pemberian isi dua kapsul sekaligus dapat menyebabkan efek samping. Efek samping ini tidak serius dan hanya bersifat sementara, baik pada anak yang kekurangan vitamin A maupun yang tidak. Namun demikan harus diusahakan agar tidak sampai memberikan 2 kapsul sekaligus.
16. Bagaimana jika umur 1 tahun menerima 2 kapsul vitamin A 200.000 IU dalam satu bulan atau dalam 24 jam?
Anak tidak akan menderita efek samping jika mendapat 2 kapsul dalam satu bulan (lihat no. 15 diatas). Anak-anak dengan xeroftalmia perlu 1 kapsul pada hari pertama dan 1 kapsul lagi pada hari kedua, dan 4 minggu kemudian 1 kapsul lagi. Anak-anak dengan campak perlu segera diberikan 1 kapsul 200.000 IU.
Jika anak mendapat 2 dosis dari 200.000 IU dalam 24 jam, anak mungkin menderita pusing, mual dan muntah. Tetapi ini akan hilang dalam 1 sampai 2 hari.
17. Bagaimana bila anak umur satu tahun menelan 10 kapsul sekaligus ?
Vitamin A 2.000.000 IU merupakan penyebab hipervitaminosis akut dan akan menyebabkan sakit kepala, pusing, mual, muntah dan anoreksia (tidak nafsu makan) yang berat. Hal ini tampaknya dalam prakteknya (pelaksanaannya) tidak akan terjadi. Ingat, kebanyakan anak umur ini tidak mengkonsumsi dalam bentuk kapsul; dan keluarga juga tidak menyimpan/mempunyai persediaan kapsul dalam jumlah besar yang mungkin dapat diambil anak
18. Berapa lama tanda-tanda atau gejala-gejala ini akan hilang setelah konsumsi vitamin A diberhentikan ?
Akut: Gejala-gejala biasanya sementara dan akan hilang dalam waktu 2 hari
Kronis: Masalah yang tampak sebagian besar akan hilang dalam waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan
19. Saya seorang perawat, kalau saya menemui kasus dengan gejala kemungkinan (dugaan) hipervitaminosis vitamin A, bagaimana saya mengatasinya ?
Kemungkinan beasr anda tidak akan melihat kasus kelebihan dosis vitamin A. Akan tetapi kalau anda menemui kasus ini, hentikan saja pemberian vitamin A. Gejala-gejala hipervitaminosis vitamin A akan hilang dengan sendirinya dalam waktu 1-4 hari. Jika fasilitas memungkinkan, sebaiknya dirujuk ke Puskesmas dan dilaporkan.
20. Apakah ada resiko keracunan akibat vitamin A yang telah kadaluarsa dan apakah ada resiko pada anak jika mengkonsumsi vitamin A yang telah kadaluarsa ?
Tanda kadaluarsa produk khusus dari vitamin A yang tercantum pada kemasan menentukan akhir masa simpan dari produk tersebut (“shelf life”). Masa simpan suatu produk menyangkut periode yang telah ditentukan, dalam kondisi penyimpanan yang baik, 90 % dari potensi vitamin A yang ditetapkan masih dapat dijamin.
Idealnya kapsul vitamin A disimpan dalam suhu rendah, misalnya <15°C atau <59°F, dalam wadah yang efektif dapat mencegah terkena sinar matahari (berwarna gelap), oksigen, kelembaban, bahan-bahan oksidasi dan logam-logam.
Kapsul yang telah kadaluarsa tidak membahayakan. Akan tetapi, vitamin dalam kapsul tersebut mungkin telah berkurang dibawah nilai yang telah ditetapkan, yaitu 90%, tergantung cara penyimpanannya, sehingga tidak lagi efektif seperti yang diharapkan.
Kapsul vitamin A yang telah disimpan lebih dari 2,5 tahun pada suhu 23°C (73,4°F) dalam wadah berwarna gelap yang tertutup masih mengandung > 90% potensi semula. Pada suhu yang lebih tinggi potensi kapsul akan lebih banyak berkurang. Tak ada resiko bila mengkonsumsi kapsul yang telah lama. Akan tetapi dengan berlalunya waktu, kadar vitamin A akan makin berkurang, sehingga menjadi kurang efektif.
21. Bagaimana kita dapat menentukan kapan botol yang berisi kapsul yang telah kadaluarsa harus dibuang?
Jika dijumpai perubahan fisik pada kapsul vitamin A seperti berjamur, lembik atau saling melengket dan sulit dipisahkan satu sama lain, walaupun belum kadaluarsa sebaiknya tidak digunakan.
Jika anda mempunyai suplai kapsul vitamin A dalam botol dengan jumlah yang besar, yang sudah 1 atau 2 tahun lebih dari tanggal kadaluarsa, sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium tentang kadar retinolnya. Ini dibenarkan jika menyangkut jumlah kapsul yang besar karena biaya analisa untuk satu kapsul sama mahalnya dengan harga 3000 kapsul. Karena itu keputusan untuk melakukan analisa potensi hanya dapat dilakukan ditingkat kabupaten/propinsi/pusat.
Akan tetapi, jika tidak dilakukan pemeriksaan kadar vitamin A, maka kapsul yang dibagikan tersebut potensinya mungkin telah berkurang meskipun masih efektif untuk mencegah xeroftalmia (walaupun untuk jangka waktu yang lebih pendek)
22. Apakah pernah terjadi kematian yang secara ilmiah ternyata disebabkan karena terlalu banyak vitamin A?
Belum pernah dilaporkan terdapatnya kasus kematian akibat keracunan vitamin A pada manusia. Perlu diingat bahwa kekurangan vitamin A justru merupakan faktor besar dalam kematian anak, yang dapat dengan mudah diatasi dengan pemberian satu kapsul vitamin A dosis tinggi tiap 6 bulan sekali pada anak usia 1 - 5 tahun

 

2
ARTIKEL KEDUA :
Dalam dua dasawarsa terakhir, pemahaman mengenai mekanisme gangguan kesehatan berkembang, terutama yang berhubungan dengan penyakit degeneratif.  Maka pemahaman seputar radikal bebas dan antioksidan pun berkembang lebih luas.
Proses metabolisme tubuh selalu diiringi pembentukan radikal bebas, yakni molekul-molekul yang sangat reaktif.  Molekul-molekul tersebut memasuki sel dan “meloncat-loncat” di dalamnya.  Mencari, lalu “mencuri” satu elektron dari molekul lain untuk dijadikan pasangan. Pembentukan radikal bebas dalam tubuh pada hakikatnya adalah suatu kejadian normal, bahkan terbentuk secara kontinyu karena dibutuhkan untuk proses tertentu, di antaranya oksidasi lipida.
Tanpa produksi radikal bebas, kehidupan tidaklah mungkin terjadi.  Radikal bebas berperan penting pada ketahanan terhadap jasad renik.  Dalam hati dibentuk radikal bebas secara enzimatis dengan maksud memanfaatkan toksisitasnya untuk merombak obat-obatan dan zat-zat asing yang beracun.
Namun pembentukan radikal bebas yang berlebihan malah menjadi bumerang bagi sel tubuh, karena sifatnya yang aktif mencari satu elektron untuk dijadikan pasangan.  Dalam pencariannya, membran sel dijebol dan inti sel dicederai.  Aksi ini dapat mempercepat proses penuaan jaringan, cacat DNA serta pembentukan sel-sel tumor. Radikal bebas juga “dituding” dalam proses pengendapan kolesterol LDL pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis).
Tubuh memerlukan bala bantuan untuk mengendalikan jumlah radikal bebas yang melampaui kebutuhan itu, yaitu antioksidan yang sebenarnya sudah terbentuk secara alamiah oleh tubuh.  Berdasarkan sifatnya, antioksidan mudah dioksidasi (menyerahkan elektron), sehingga radikal bebas tak lagi aktif mencari pasangan elektronnya.
Unsur antioksidan yang terpenting adalah yang berasal dari vitamin C, E dan A serta enzim alamiah. Demi memenuhi tuntunan itu, berbagai upaya dilakukan, misalnya dengan mengonsumsi lebih banyak buah dan sayur yang kaya akan vitamin dan mineral tertentu.  Ada pula yang menempuh cara lebih praktis, yaitu mengonsumsi suplemen, baik yang berbahan dasar alami maupun yang sintetis.
Belum banyak yang memahami benar seberapa banyak kebutuhan tubuh kita akan vitamin A, C dan E yang dikelompokkan sebagai antioksidan.  Sebagai contoh masih terdapat perbedaan pendapat tentang dosis Vitamin C yang perlu dikonsumsi setiap hari.  Sebagian pakar merekomendasikan cukup 60–70 mg, dengan alasan cukup untuk kebutuhan setiap hari.  Jika mengonsumsi berlebih akan terbuang dalam urin. Sedangkan yang lain menganjurkannya 500–1.000 mg agar Vitamin C bukan sekedar memenuhi kebutuhan tubuh untuk stimulasi proses metabolisme, tetapi benar-benar dapat berfungsi sebagai antioksidan.
Beberapa pakar nutrisi berpendapat, bahwa kecukupan antioksidan dapat diperoleh dengan cara  menjaga pola makan bergizi seimbang. Namun, pada kenyatannya tidak banyak yang dapat melakukannya setiap hari.  Sebagai contoh, bagi kalangan berpendapatan kelas menengah-bawah buah-buahan yang dijual pada umumnya relatif mahal, sehingga kebutuhan akan vitamin yang tergolong anti oksidan menjadi berkurang.  Mereka berpendapat dapat digantikan dengan suplemen yang lebih murah. Namun keunggulan suplemen ini tetap kalah jika dibandingkan dengan makanan alami, karena pada yang alami terdapat vito chemicals, yaitu sekumpulan bahan-bahan kimia yang mempunyai fungsi belum diketahui secara rinci.
Ada pula yang berpendapat, dalam mengonsumsi suplemen, mengambil dosis yang moderat, artinya tidak menggunakan vitamin dengan dosis terlalu tinggi, contohnya 500 mg Vitamin C setiap hari.  Penggunaan dosis tinggi dianggap tidak baik bagi kesehatan, apalagi digunakan dalam jangka panjang. “Beberapa studi menunjukkan, dosis terlalu tinggi mengubah sifat antioksidan menjadi prooksidan,” peringatan dr Benny Soegianto, MPH. (alm) dalam sebuah wawancara dengan reporter majalah kesehatan tujuh tahun silam.  Kendatipun demikian sampai saat ini masih banyak konsumen yang tergoda untuk rutin memakai dosis tinggi karena terbuai janji khasiatnya sebagai penghambat proses penuaan.
Tubuh kita sendiri, lanjut dr Benny seringkali mampu memberikan sinyal kekurangan vitamin tertentu.  Sebagai contoh, jika Vitamin B dan C dalam kurun waktu tertentu tidak cukup dikonsumsi dan tubuh sedang bekerja keras, maka akan timbul sariawan dan tubuh akan terasa pegal.  Oleh karenanya kecukupan kedua macam vitamin tersebut perlu dijaga dengan cara–suka tidak suka- mengonsumsi buah segar setiap hari dalam porsi yang memadai.

3
ARTIKEL KETIGA :
SEPUTAR ANEMIA GIZI BESI (AGB)
Menurut definisi, anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemikiran fisik yang teliti, serta asi didukung oleh pemeriksaan laboratorium.
Manifestasi klinik
            Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat menimbulkan manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini bergantung pada:
(1) kecepatan timbulnya anemia
(2) umur individu
(3) mekanisme kompensasinya
(4) tingkat aktivitasnya
(5) keadaan penyakit yang mendasari, dan
(6) parahnya anemia tersebut.
                Karena jumlah efektif sel darah merah berkurang, maka  lebih sedikit O2 yang dikirimkan ke jaringan. Kehilangan darah yang mendadak (30% atau lebih), seperti pada perdarahan, menimbulkan simtomatoogi sekunder hipovolemia dan hipoksemia. Namun pengurangan hebat massa sel darah merah dalam waktu beberapa bulan (walaupun pengurangannya 50%) memungkinkan mekanisme kompensasi tubuh untuk menyesuaikan diri, dan biasanya penderita asimtomatik, kecuali pada kerja jasmani berat.
Mekanisme kompensasi bekerja melalui:
(1) peningkatan curah jantung dan pernafasan, karena itu menambah pengiriman O2
      ke jaringan-jaringan oleh sel darah merah
(2) meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin
(3) mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan,  dan
(4) redistribusi aliran darah ke organ-organ vital (deGruchy, 1978 ).
Etiologi
  1. Karena cacat sel darah merah (SDM)
         Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-tiap komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan masalah bagi SDM sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan dengan cepat mengalami penuaan dan segera dihancurkan. Pada umumnya cacat yang dialami SDM menyangkut senyawa-senyawa protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan ini menyangkut protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di DNA.
1. Karena kekurangan zat gizi
 Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor                                                                                                                    
   luar tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena kelainan dalam SDM   disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel tersebut. Anemia jenis ini tidak dapat diobati, yang dapat dilakukan adalah hanya memperpanjang usia SDM sehingga mendekati umur yang seharusnya, mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya mengurangi penyulit yang terjadi.
2. Karena perdarahan
       Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar  dan dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi karena kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin mengembalikan jumlah darah ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi.
3. Karena otoimun
 Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan menghancurkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini sebanarnya tidak seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi terhadap SDM, umur SDM akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh sistem imun.

Diagnosis (gejala atau tanda-tanda)
Tanda-tanda yang paling sering  dikaitkan dengan anemia adalah:
  1.  kelelahan, lemah, pucat, dan kurang bergairah
  2. sakit kepala, dan mudah marah
  3. tidak mampu berkonsentrasi, dan rentan terhadap infeksi
  4. pada anemia yang kronis menunjukkan bentuk kuku seperti sendok dan rapuh, pecah-pecah pada sudut mulut, lidah lunak dan sulit menelan.
Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman serta distribusi kapiler mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan merupakan indeks pucat yang dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan, dan membran mukosa mulut serta konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai kepucatan.
Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan aliran darah yang meningkat) menggambarkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat. Angina (sakit dada), khususnya pada penderita yang tua dengan stenosis koroner, dapat diakibatkan karena iskemia miokardium. Pada anemia berat, dapat menimbulkan payah jantung kongesif sebab otot jantung yang kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban kerja jantung yang meningkat. Dispnea (kesulitan bernafas), nafas pendek, dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi berkurangnya pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinnitus (telinga berdengung) dapat menggambarkan berkurangnya oksigenasi pada susunan saraf pusat. Pada anemia yang berat dapat juga timbul gejala saluran cerna yang umumnya berhubungan dengan keadaan defisiensi. Gejala-gejala ini adalah anoreksia, nausea, konstipasi atau diare dan stomatitis (sariawan lidah dan mulut).
      
Klasifikasi anemia
Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro menunjukkan ukuran sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan warnanya. Sudah dikenal tiga klasifikasi besar.
Yang pertama adalah anemia normositik normokrom. Dimana ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronik termasuk infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
Kategori besar yang kedua adalah anemia makrositik normokrom. Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokrom karena konsentrasi hemoglobinnya normal. Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 dan atau asam folat. Ini dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker, sebab agen-agen yang digunakan mengganggu metabolisme sel.
Kategori anemia ke tiga adalah anemia mikrositik hipokrom. Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal. Hal ini umumnya menggambarkan insufisiensi sintesis hem (besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan
darah kronik, atau gangguan sintesis globin, seperti pada talasemia (penyakit hemoglobin abnormal kongenital).
Anemia dapat juga diklasifikasikan  menurut etiologinya. Penyebab utama yang dipikirkan adalah
 (1) meningkatnya kehilangan sel darah merah dan
 (2) penurunan atau gangguan pembentukan sel.
 Meningkatnya kehilangan sel darah merah dapat disebabkan oleh perdarahan atau oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat disebabkan oleh trauma atau tukak, atau akibat pardarahan kronik karena polip pada kolon, penyakit-penyakit keganasan, hemoriod atau menstruasi. Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi, dikenal dengan nama hemolisis, terjadi bila gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang memperpendek
hidupnya atau karena perubahan lingkungan yang mengakibatkan penghancuran sel darah merah. Keadaan dimana sel darah merah itu sendiri terganggu adalah:
1. hemoglobinopati, yaitu hemoglobin abnormal yang diturunkan, misal nya anemia sel sabit                       
2. gangguan sintetis globin misalnya talasemia
3. gangguan membran sel darah merah misalnya sferositosis herediter
4.defisiensi enzim misalnya defisiensi G6PD (glukosa 6-fosfat dehidrogenase).
Yang disebut diatas adalah gangguan herediter. Namun, hemolisis dapat juga disebabkan oleh gangguan lingkungan sel darah merah yang seringkali memerlukan respon imun. Respon isoimun mengenai berbagai individu dalam spesies yang sama dan diakibatkan oleh tranfusi darah yang tidak cocok. Respon otoimun terdiri dari pembentukan antibodi terhadap sel-sel darah merah itu sendiri. Keadaan yang di namakan anemia hemolitik otoimun dapat timbul tanpa sebab yang diketahui setelah pemberian suatu obat tertentu seperti alfa-metildopa, kinin, sulfonamida, L-dopa atau pada penyakit-penyakit seperti limfoma, leukemia limfositik kronik, lupus eritematosus, artritis reumatorid dan infeksi  virus. Anemia hemolitik otoimun selanjutnya diklasifikasikan menurut suhu dimana antibodi bereaksi dengan sel-sel darah merah –antibodi tipe panas atau antibodi tipe dingin.
Malaria adalah penyakit parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang terinfeksi. Penyakit ini akan menimbulkan anemia hemolitik berat ketika sel darah merah diinfestasi oleh parasit plasmodium, pada keadaan ini terjadi kerusakan pada sel darah merah, dimana permukaan sel darah merah tidak teratur. Sel darah merah yang terkena akan segera dikeluarkan dari peredaran darah oleh limpa(Beutler, 1983)
Hipersplenisme (pembesaran limpa, pansitopenia, dan sumsum tulang hiperselular atau normal) dapat juga menyebabkan hemolisis akibat penjeratan dan penghancuran sel darah merah. Luka bakar yang berat khususnya jika kapiler pecah dapat juga mengakibatkan hemolisis.
Klasifikasi etiologi utama yang kedua adalah pembentukan sel darah merah yang berkurang atau terganggu (diseritropoiesis). Setiap keadaan yang mempengaruhi fungsi sumsum tulang dimasukkan dalam kategori ini. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
(1) keganasan yang tersebar seperti kanker payudara, leukimia dan multipel mieloma; obat dan zat kimia toksik; dan penyinaran dengan radiasi dan
(2) penyakit-penyakit menahun yang melibatkan ginjal dan hati, penyakit-penyakit infeksi dan defiensi endokrin.
Kekurangan vitamin penting seperti vitamin B12, asam folat, vitamin C dan besi dapat mengakibatkan pembentukan sel darah merah tidak efektif sehingga menimbulkan anemia. Untuk menegakkan diagnosis anemia harus digabungkan pertimbangan morfologis dan etiologi.
Anemia aplastik
Anemia aplastik adalah suatu gangguan pada sel-sel induk disumsum tulang yang dapat menimbulkan kematian, pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang dihasilkan tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia yaitu kekurangan  sel darah merah, sel darah putih dan trombosit. Secara morfologis sel-sel darah merah terlihat normositik dan normokrom, hitung retikulosit rendah atau hilang dan biopsi sumsum tulang menunjukkan suatu keadaan yang disebut “pungsi kering” dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi pergantian dengan jaringan lemak. Langkah-langkah pengobatan terdiri dari mengidentifikasi dan menghilangkan agen penyebab. Namun pada beberapa keadaan tidak dapat ditemukan agen penyebabnya dan keadaan ini disebut idiopatik. Beberapa keadaan seperti ini diduga merupakan keadaan imunologis.

Gejala-gejala anemia aplastik
Kompleks gejala anemia aplastik berkaitan dengan pansitopenia. Gejala-gejala lain yang berkaitan dengan anemia adalah defisiensi trombosit dan sel darah putih.
Defisiensi trombosit dapat mengakibatkan:
(1)ekimosis dan ptekie (perdarahan dalam kulit)
(2)epistaksis (perdarahan hidung)
(3)perdarahan saluran cerna
(4)perdarahan saluran kemih
(5)perdarahan susunan saraf pusat.
Defisiensi sel darah putih mengakibatkan lebih mudahnya terkena infeksi.
Aplasia berat disertai pengurangan atau tidak adanya retikulosit jumlah granulosit yang kurang dari 500/mm3 dan jumlah trombosit yang kurang dari 20.000 dapat
mengakibatkan kematian dan infeksi dan/atau perdarahan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Namun penderita yang lebih ringan dapat hidup bertahun- tahun. Pengobatan terutama dipusatkan pada perawatan suportif sampai terjadi penyembuhan sumsum tulang. Karena infeksi dan perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi sel lain merupakan penyebab utama kematian maka penting untuk mencegah perdarahan dan infeksi.
Pencegahan anemia aplastik dan terapi yang di lakukan
Tindakan pencegahan dapat mencakup lingkungan yang dilindungi (ruangan dengan aliran udara yang mendatar atau tempat yang nyaman) dan higiene yang baik. Pada pendarahan dan/atau infeksi perlu dilakukan terapi komponen darah yang bijaksana, yaitu sel darah merah, granulosit dan trombosit dan antibiotik. Agen-agen perangsang sumsum tulang seperti androgen diduga menimbulkan eritropoiesis, tetapi efisiensinya tidak menentu. Penderita anemia aplastik kronik dipertahankan pada hemoglobin (Hb) antara 8 dan 9 g dengan tranfusi darah yang periodik.
Penderita anemia aplastik berusia muda yang terjadi secara sekunder akibat kerusakan sel induk memberi respon yang baik terhadap tranplantasi sumsum tulang dari donor yang cocok (saudara kandung dengan antigen leukosit manusia [HLA] yang cocok). Pada kasus-kasus yang  dianggap terjadi reaksi imunologis maka digunakan globulin antitimosit (ATG) yang mengandung antibodi untuk melawan sel T manusia untuk mendapatkan remisi sebagian. Terapi semacam ini dianjurkan untuk penderita yang agak tua atau untuk penderita yang tidak mempunyai saudara kandung yang cocok.
Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi secara morfologis diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintetis hemoglobin.
Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di dunia. Khususnya terjadi pada wanita usia subur, sekunder karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi selama hamil.
 Penyebab lain defisiensi besi adalah:
(1)asupan besi yang tidak cukup misalnya pada bayi yang diberi makan susu belaka  sampai usia antara 12-24 bulan dan pada individu tertentu yang hanya memakan sayur- sayuran saja;
(2)gangguan absorpsi seperti setelah gastrektomi dan
(3)kehilangan darah yang menetap seperti pada perdarahan saluran cerna yang lambat karena polip, neoplasma, gastritis varises esophagus, makan aspirin dan hemoroid.
Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa rata-rata mengandung 3 sampai 5 g besi,
bergantung pada jenis kelamin dan besar tubuhnya. Hampir dua pertiga besi terdapat dalam hemoglobin yang dilepas pada proses penuaan serta kematian sel dan diangkut melalui transferin plasma ke sumsum tulang untuk eritropoiesis. Dengan kekecualian dalam jumlah yang kecil dalam mioglobin (otot) dan dalam enzim-enzim hem, sepertiga
sisanya disimpan dalam hati, limpa dan dalam sumsum tulang sebagai feritin dan sebagai hemosiderin untuk kebutuhan-kebutuhan lebih lanjut.
Patofisiologi anemia defisiensi besi
Walaupun dalam diet rata-rata terdapat 10 - 20 mg besi, hanya sampai 5% - 10% (1 - 2 mg) yang sebenarnya sampai diabsorpsi. Pada persediaan besi berkurang maka besi dari diet tersebut diserap lebih banyak. Besi yang dimakan diubah menjadi besi fero dalam lambung dan duodenum; penyerapan besi terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal. Kemudian besi diangkut oleh transferin plasma ke sumsum tulang untuk sintesis hemoglobin atau ke tempat penyimpanan di jaringan.
Tanda dan gejala anemia pada penderita defisiensi besi
Setiap milliliter darah mengandung 0,5 mg besi. Kehilangan besi umumnya sedikit sekali, dari 0,5 sampai 1 mg/hari. Namun wanita yang mengalami menstruasi kehilangan tambahan 15 sampai 28 mg/bulan. Walaupun kehilangan darah karena menstruasi berhenti selama hamil, kebutuhan besi harian tetap meningkat, hal ini terjadi oleh karena volume darah ibu selama hamil meningkat, pembentukan plasenta, tali pusat dan fetus, serta mengimbangi darah yang hilang pada waktu melahirkan.
Selain tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh anemia, penderita defisiensi besi yang berat (besi plasma lebih kecil dari 40 mg/ 100 ml;Hb 6 sampai 7 g/100 ml)mempunyai rambut yang rapuh dan halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan sebenarnya berbentuk seperti sendok (koilonikia). Selain itu atropi papilla lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin, mengkilat, merah daging, dan meradang dan sakit. Dapat juga timbul stomatitis angularis, pecah-pecah dengan kemerahan dan rasa sakit di sudut-sudut mulut.
Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah merah normal atau hampir normal dan kadar hemoglobin berkurang. Pada sediaan hapus darah perifer, eritrosit mikrositik dan hipokrom disertain poikilositosis dan aniositosis. Jumlah retikulosit mungkin normal atau berkurang. Kadar besi berkurang walaupun kapasitas meningkat besi serum meningkat.
Pengobatan anemia pada penderita defisiensi besi
Pengobatan defisiensi besi mengharuskan identifikasi dan menemukan penyebab dasar anemia. Pembedahan mungkin diperlukan untuk menghambat perdarahan aktif
yang diakibatkan oleh polip, tukak, keganasan dan hemoroid; perubahan diet mungkin diperlukan untuk bayi yang hanya diberi makan susu atau individu dengan idiosinkrasi makanan atau yang menggunakan aspirin dalam dosis besar. Walaupun modifikasi diet dapat menambah besi yang tersedia (misalnya hati, masih dibutuhkan suplemen besi untuk meningkatkan hemoglobin dan mengembalikan persediaan besi. Besi tersedia dalam bentuk parenteral dan oral. Sebagian penderita memberi respon yang baik terhadap senyawa-senyawa oral seperti ferosulfat. Preparat besi parenteral digunakan secara sangat selektif, sebab harganya mahal dan mempunyai insidens besar terjadi reaksi yang merugikan.
Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik diklasifikasikan menurut morfologinya sebagai anemia makrositik normokrom.
Sebab-sebab atau gejala anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik sering disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan asam folat yang mengakibatkan sintesis DNA terganggu. Defisiensi ini mungkin sekunder karena malnutrisi, malabsorpsi, kekurangan faktor intrinsik  (seperti terlihat pada anemia pernisiosa dan postgastrekomi) infestasi parasit, penyakit usus dan keganasan, serta agen kemoterapeutik. Individu dengan infeksi cacing pita (dengan Diphyllobothrium latum) akibat makan ikan segar yang terinfeksi, cacing pita berkompetisi dengan hospes dalam mendapatkan vitamin B12 dari makanan, yang mengakibatkan anemia megaloblastik (Beck, 1983).
Walaupun anemia pernisiosa merupakan prototip dari anemia megaloblastik defisiensi folat lebih sering ditemukan dalam praktek klinik. Anemia megaloblastik sering kali terlihat pada orang tua dengan malnutrisi, pecandu alkoholatau pada remaja dan pada kehamilan dimana terjadi peningkatan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan fetus dan laktasi. Kebutuhan ini juga meningkat pada anemia hemolitik, keganasan dan hipertiroidisme. Penyakit celiac dan sariawan tropik juga menyebabkan malabsorpsi dan penggunaan obat-obat yang bekerja sebagai antagonis asam folat juga mempengaruhi.
Pencegahan anemia pada penderita anemia megaloblastik
Kebutuhan minimal folat setiap hari kira-kira 50 mg mudah diperoleh dari diet rata-rata. Sumber yang paling melimpah adalah daging merah (misalnya hati dan ginjal) dan sayuran berdaun hijau yang segar. Tetapi cara menyiapkan makanan yang benar
juga diperlukan untuk menjamin jumlah gizi yang adekuat. Misalnya 50% sampai 90% folat dapat hilang pada cara memasak yang memakai banyak air. Folat diabsorpsi
dari duodenum dan jejunum bagian atas, terikat pada protein plasma secara lemah dan disimpan  dalam hati. Tanpa adanya asupan folat persediaan folat biasanya akan habis
kira-kira dalam waktu 4 bulan. Selain gejala-gejala anemia yang sudah dijelaskan penderita anemia megaloblastik sekunder karena defisiensi folat dapat tampak seperti malnutrisi dan mengalami glositis berat (radang lidah disertai rasa sakit), diare dan kehilangan nafsu makan. Kadar folat serum juga menurun (<4 mg/ml).
Pengobatan anemia pada penderita anemia megaloblastik.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya pengobatan bergantung pada identifikasi dan menghilangkan penyebab dasarnya. Tindakan ini adalah memperbaiki defisiensi diet dan terapi pengganti dengan asam folat atau dengan vitamin B12. penderita kecanduan alkohol yang dirawat di rumah sakit sering memberi respon “spontan” bila di berikan diet seimbang.

Daftar Pustaka
 1.   Sadikin Muhamad, 2002, Biokimia Darah, widia medika, jakarta
 2.   http://www.majalah-farmacia.com
 3.   http://www.pediatrik.com
 4.   Sylvia A. Price Lorraine M. Wilson, 2002, Patofisiologi, Jilid1, EGC, Jakarta
Kriteria Penilaian : (khusus soal Bagian B)
    Setiap satu link ke halaman web diberi skor 2 dan setiap link ke file di dropbox/mediafire Skor 5. Makin banyak link makin tnggi skor
    • Link ke halaman (page) yang tidak relevan skor 1 dan link ke file yang kurang relevan skor hanya 3
    • Setiap ditemukan satu link yang break (tidak tersambung ke sumber) untuk link page (halaman web) dikurangi skor 1 dan untuk link file (dropbox/mediafire) dikurang skor 2. Link yang break bisa disebabkan oleh halaman yang Anda kutip tidak tersedia lagi atau ada kesalahan dalam mengcopy alamat, atau ada kesalahan dalam pembuatan LINK pada posting. Panduan membuat link baca DISINI (jika komputer Anda terhubung ke internet)